Soal Kasus Timah, Prof. Romli: Tak Mudah Membuktikan Perbuatan Melawan Hukum
Sidang Tipikor Tata Niaga Timah-screnshot-
KORANBABELPOS.ID.JAKARTA - Sidang Tipikor Tata Niaga Timah di IUP PT Timah 2015-2022, sepertinya terus dibedahnya para ahli hukum yang dihadirkan di PN Tipikor Jakarta Pusat.
Seperti Pakar Hukum Pidana Prof. Romli Atmasasmita menekankan pentingnya memahami ketentuan hukum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), terutama jika penyidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup. Hal ini disampaikan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi PT Timah, Jumat (6/12/2024).
Menurut Prof. Romli, UU Tipikor sebenarnya telah mengatur jalan keluar bagi penanganan kasus yang tidak memiliki cukup bukti pidana melalui ketentuan Pasal 32 ayat 1.
“Jika penyidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, tapi ada kerugian keuangan negara yang signifikan, maka penyidik wajib melimpahkan perkara tersebut ke Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara) untuk kemudian dilakukan gugatan perdata,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa dalam praktiknya, membuktikan perbuatan melawan hukum (PMH) atau penyalahgunaan wewenang bukanlah hal yang mudah.
Oleh karena itu, penyusun UU memberikan opsi dalam Pasal 32 sebagai "escape clause" bagi kejaksaan. Gugatan perdata dapat diajukan untuk memulihkan kerugian negara, bukan melalui mekanisme pidana.
“Kalau demikian, kerugian keuangan negara itu bukan norma pidana, melainkan norma perdata, seperti ganti rugi dalam urusan perbuatan melawan hukum,” ujar Prof. Romli.
BACA JUGA: Giliran Sidang Tipikor Tata Niaga Timah, Alwin Albar Dijemput Kejagung
Kerugian Keuangan Negara?
Menurut Prof. Romli juga menjelaskan perbedaan mendasar antara kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara.
Menurutnya, kerugian keuangan negara lebih mudah dibuktikan karena memiliki dasar hukum yang jelas, seperti yang tercantum dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Sementara itu, kerugian perekonomian negara dianggap lebih kompleks dan sulit dibuktikan karena batasannya tidak jelas serta bersifat fluktuatif.
"Perekonomian negara itu hanya bisa dilihat oleh ahli ekonomi makro, bukan mikro,” tegasnya.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam (SDA), termasuk tata niaga timah, Prof. Romli berpandangan bahwa hal tersebut lebih berkaitan dengan kerugian perekonomian negara daripada kerugian keuangan negara.