CHINEESCH DIALECTEN
Akhmad Elvian-screnshoot -
Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP, CECH
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
PENGUNAAN dan persebaran Chineesch dialecten (dialek Cina), di Pulau Bangka dapat dilihat dalam Schets-Taalkaart atau peta bahasa dari Residen Bangka terbitan Tahun 1889 Masehi yang disusun oleh K.F. Holle, seorang penasehat kehormatan penduduk pribumi, melalui data yang diberikan oleh pejabat Administrasi Pemerintahan Dalam Negeri, bekerjasama dengan Biro Topografi di Batavia (Biro didirikan tanggal 25 Februari 1864).
------------------
DALAM Schets-Taalkaart atau peta bahasa digambarkan persebaran Enam dialek bahasa di Keresidenan Bangka meliputi Chineesch dialecten (dialek Cina), Bangka Maleisch dialecten (dialek Melayu Bangka), Daratsche dialecten (dialek orang Darat), Maporeesch dialecten (dialek Mapor), Rijau-Lingga dialecten (dialek Riau-Lingga), dan Sekaahsch dialecten (dialek Sekak). K.F. Holle adalah orang Belanda yang telah melakukan survei dan penelitian terhadap 224 bahasa di seluruh Indonesia selama 40 Tahun. Persebaran Enam dialek bahasa di Keresidenan Bangka termasuk Chineesch dialecten berada di Sepuluh district dan Tiga Puluh Satu onderdistrict.
Sampai sekarang Orang Tionghoa Bangka masih menggunakan Chineesch dialecten, walaupun dalam perkembangannya dialek tersebut sudah bercampur dengan 5 dialek lainnya, bahkan Orang Bangka secara umum mengerti dan sering menuturkan Chineesch dialecten dalam komunikasi yang lebih luas. Penutur Chineesch dialecten tersebar di seluruh wilayah di Pulau Bangka yang meliputi wilayah: 1) Buntu yang menyatakan tentang wilayah Mentok; 2) Nampong yang menyatakan wilayah Jebus; 3) Bli-Jong yang menyatakan wilayah Belinyu; 4) Liet-Kong yang menyatakan wilayah Sungailiat; 5) Liu-Sak yang menyatakan wilayah Batu Rusa atau Merawang; 6) Pin-Kong yang menyatakan wilayah Pangkalpinang; 7) Komuk yang menyatakan wilayah Koba; dan 8) Sabang yang menyatakan wilayah Toboali.
Penutur Chineesch dialecten adalah orang-orang Tionghoa yang awalnya secara resmi didatangkan ke Pulau Bangka pada masa Kesultanan Palembang Darussalam diperintah Sultan Mahmud Badarudin I Jayo Wikramo (memerintah pada Tahun 1724-1757 Masehi) dan masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo (memerintah pada Tahun 1757-1776 Masehi). Sultan mendatangkan pekerja-pekerja orang Tionghoa dari, Johor, Siantan, Vietnam, Laos, Kamboja, Patani dan dari Semenanjung Malaka. Sebagai contoh di Kota Mentok sebagai pusat pemerintahan dan pusat Penambangan Timah di Pulau Bangka sekitar pertengahan abad 17 dan 18 Masehi, awalnya dihuni orang pribumi Bangka dari Proatin Punggur, Sukal, dan proatin di sekitarnya serta Orang-orang Melayu, kemudian Kota Mentok mulai ramai dengan kedatangan orang Cina yang dibawa oleh Coeng Hoeyoet atas perintah Sultan Palembang. Orang Cina awalnya hanya tinggal di Mentok, Belinjoe (Pandji) dan Boenoet, akan tetapi pada masa Rangga Usman, pemukiman orang Cina sudah meluas menempati juga wilayah Rambat hingga sampai ke wilayah Tempilang, terutama seiring dengan perkembangan penambangan Timah di wilayah wilayah tersebut. Selanjutnya Coeng Hoeyoet digantikan oleh Oen Asing atau Boen Asiong, yang karena keahliannya dalam pertimahan dan dekat dengan Rangga Usman diangkat menjadi Kapitan Cina, menggantikan Coeng Hoeyoet (Soejitno, 2011:150). Kedatangan Orang Cina ke Mentok digambarkan F.S.A. De Clereq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895: “Met de voortgezette ontginning van nieuwe mijnen werd het aantal inwoners van Muntok grooter en waren er onder de Chineezen velen, die heimelijk tin stalen. Een zekere Chinees, met name Oen Asing, was daardoor zeer rijk geworden, daar hij het gestolen tin verkocht aan de wangkang's, die Muntok aandeden.
Sebagai gambaran selanjutnya keberadaan awal orang Tionghoa di Pulau Bangka dapat dipelajari berdasarkan ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Bangka yang dimulai pada Tanggal 18 Juli 1803, sebagaimana dikutip dari Marihandono, dkk. (2019;209-210). Ekspedisi mengikutsertakan kapal perang Maria Rijgersbergen bersama dengan kapal-kapal layar eks. VOC, Maria Jacoba dan Beschermer serta beberapa kapal penjajap milik sultan kesultanan Palembang Darussalam, sultan susuhunan Muhammad Bahauddin (masa pemerintahan 1776-1803 Masehi). Ekspedisi merupakan upaya pemerintah Kolonial Belanda mengamankan jalur pelayaran, seperti dilaporkan oleh Residen Palembang Aart Quiryn Palm dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Johannes Sieberg di Batavia pada 26 Maret, 13 dan 26 April 1803. Berdasarkan laporan ekspedisi diketahui, bahwa: Di Tampelang, mempekerjakan 10 pekerja tambang dari Cina; Di Marawang, mencakup 12 tambang Timah dan mempekerjakan 33 pekerja tambang dari Cina; di Jebus, mencakup 7 tambang Timah dan mempekerjakan 300 pekerja tambang Timah; Di Blinju dan Panji mencakup 3 tambang Timah, mempekerjakan 46 orang pekerja tambang Cina; Di Lumut, 4 tambang Timah yang dikerjakan oleh 40 orang pekerja tambang Cina; di Belo, hanya ada 1 tambang Timah yang dikerjakan oleh 18 orang pekerja tambang Cina; Selanjutnya di Klabat memiliki 4 tambang Timah dan di sana bekerja 70 orang pekerja tambang Cina; Di Layang terdapat 4 tambang Timah dengan 21 orang pekerja tambang Cina; selanjutnya di Songie Liat memiliki 5 tambang Timah mempekerjakan 45 orang pekerja tambang Cina dan di PankalPinang terdapat 7 tambang Timah yang mempekerjakan 35 pekerja tambang Cina; selanjutnya di Songebulo, tambang Timah dikerjakan oleh 52 orang pekerja tambang Cina.
Pekerja Tambang dari Cina membawa teknologi baru penambangan yaitu “Teknologi Kulit” dan “Teknologi Kulong”, menggantikan teknologi lama penambangan Timah asli Bangka yang sederhana, yaitu teknologi “Pelubangan-Berpindah” atau tekhnologi “Toboalih”. Nama-nama tambang Timahpun menggunakan nama setempat dan nama dalam Chineesch dialecten. Dalam laporan Thomas Horsfield, Report on the Island of Banka, Journal of the Indian Archipelago, Tahun 1848, halaman 797 dan 802, misalnya disebutkan tambang Timah kecil (small mines) di Distrik Pangkalpinang yang berada dalam wilayah divisi Ketiga atau divisi Tenggara (In the South-east division) pada saat kerajaan Inggris berkuasa di Pulau Bangka (Tahun 1812-1816). Tambang-tambang kecil tersebut seperti Ayer-Mangkok, Krassak, Krassak-Ulu, Bakung-bawa, Tahapsawun, Bankwang, Henglie, Butshak, Tshuntshit, Samwey, Hunseng, Tshing-peng, Tshin, Kayu-hessie, Suymouw, Siema, Kwang-tsie, Bakung, Bulu, Ayer-Udang, Gomuru, Wang-sing, Pangkul, dan Sungai-kurouw. Dari penamaan atau toponomi lokasi-lokasi tambang Timah tersebut, dapat dipastikan, bahwa tambang dibuka oleh pekerja pekerja tambang orang Tionghoa dan penduduk pribumi Bangka (Bangkanese). 24 tambang di atas tersebar melalui bagian wilayah Messu, Bakung, Kayu-Bessie, Ayer-Mankok dan Bangkwang, dengan memperkerjakan sekitar 63 orang penambang (baik penambang pribumi Bangka maupun penambang orang-orang Cina).
Istilah-istilah dalam pertambangan Timah menggunakan Chineesch dialecten dan masih digunakan hingga sekarang seperti pada penyebutan Roda air disebut tjiatiauw, Pompa Air atau Tjinshia. Sakan (papan pengayak pasir), Camui (lubang galian), Kioktjo (cangkul atau pacul), Tjiong (air kental di lokasi tambang), Punki (keranjang kecil mengangkut tanah), Tamkon (pikulan punki), Tjiathong (palung air) dan banyak lagi istilah-istilah pertambangan Timah lainnya. Umumnya peralatan dari Besi untuk pertambangan dibuat di Kampung Besi (Thiatphu). Lamanya waktu pembukaan tambang sampai waktunya menghasilkan Timah berdasarkan teknologi Kulit dan Kulong, menyebabkan para pekerja tambang harus menginap pada bedeng-bedeng (Rumah Kepung) yang didirikan di dekat lokasi tambang. Para pekerja tambang Timah kemudian tinggal di dekat lokasi parit penambangan atau mendirikan perkampungan di lokasi bekas penambangan Timah (verlatin mijn). Beberapa kampung yang menjadi tempat tinggal diberikan dengan nama yang unik dan menarik dengan makna yang menunjukkan cita-cita dan harapan sebagai orang yang bekerja di perantauan yang tidak kembali ke kampung halamannya. Nama-nama kampung tersebut seperti Fo Hin bermakna makmur dan berkembang bersama, Hap Hin bermakna kegembiraan bersama selamanya, Hap Jung bermakna dipakai bersama, Kim Jung bermakna emas bersama. Kemudian Cung Hin atau Sung Hin bermakna berkembang dalam kegembiraan, selanjutnya ada lagi kampung Ngian Hin yang bermakna awal kegembiraan.
Pemerintah Inggris yang berkuasa di Pulau Bangka Tahun 1812-1816 kemudian melanjutkan kebijakan sultan dengan mendatangkan sekitar 1600 pekerja tambang Timah dari Kanton Cina. Perkembangan dan populasi pekerja tambang Timah dari Cina di Pulau Bangka berkembang dengan sangat pesat, pada Tahun 1816 atau akhir kekuasaan Inggris di Pulau Bangka terdapat sekitar 2.528 orang pekerja Timah dari Cina. Selanjutnya pada masa Hindia Belanda didatangkan ke Pulau Bangka pekerja Tambang Timah yang terdiri dari Orang Hakka dan Hokian. Berdasarkan catatan sejarah pada Tahun 1848 jumlah penduduk orang Cina di Pulau Bangka sudah berjumlah sekitar 10.052 jiwa. Jumlah ini hampir meliputi Seperempat dari jumlah penduduk Pulau Bangka pada masa itu yang berjumlah sekitar 41.246 jiwa. Penduduk orang Cina terbesar pada waktu itu adalah yang berdomisili di distrik Belinyu dengan jumlah sebesar 2.270 jiwa (Epp,1852:209). Selanjutnya sebagai gambaran di Kota Pangkalpinang yang menjadi Ibukota Keresidenan Bangka, bahwa pada Tahun 1930 di Distrik Pangkalpinang terdata jumlah penduduk sebesar 52.000 orang di antaranya 273 orang Eropa dan 21.000 orang Cina. Penduduk Orang Melayu bergantung pada hasil pertanian (lada dan padi) dan perikanan. Orang Cina dipekerjakan di Pertambangan Timah atau dalam perdagangan, pertanian dan perikanan (Goggryp 1934, 1128).***