Negara Rugi Rp279 Triliun dari Tata Niaga Sawit
--
Selain tata niaga timah, negara juga banyak dirugikan dari tata niaga sawit. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengungkapkan negara seharusnya bisa menuai pendapatan tambahan sebesar Rp279,1 triliun apabila memperbaiki tata kelola industri sawit.
“Kalau tata kelola industri sawit bisa diperbaiki, maka minimalnya negara akan mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp279,1 triliun,” ujar Yeka saat memberi paparan terkait pencegahan maladministrasi dalam layanan tata kelola industri kelapa sawit di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Senin (18/11).
Yeka menjelaskan bahwa Ombudsman menemukan tiga aspek utama yang menjadi titik rentan terjadinya maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit, yakni lahan, perizinan, dan tata niaga.
Permasalahan yang paling sering ditemukan dalam aspek lahan adalah tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Permasalahan tersebut, menurut Yeka, perlu diselesaikan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan Hak Atas Tanah (HAT) dan pengakuan hukum lainnya.
Lebih lanjut, permasalahan utama tata kelola industri kelapa sawit pada aspek perizinan adalah rendahnya capaian pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B), sertifikasi ISPO, dan adanya ketidakpastian layanan persetujuan teknis (pertek) pemanfaatan air limbah pabrik kelapa sawit untuk aplikasi ke lahan.
Kemudian, pada aspek ketiga, yakni tata niaga, permasalahan utama yang sering ditemukan adalah perizinan pabrik kelapa sawit (PKS), program kebijakan perdagangan produk turunan kelapa sawit, serta pengelolaan dana sawit.
“Kalau kita jumlahkan potensi kerugian di aspek lahan, aspek perizinan, dan aspek tata niaga, kerugiannya mencapai Rp279,1 triliun,” kata Yeka.
Yeka mengatakan bahwa permasalahan integrasi kebijakan dapat diperbaiki dengan adanya satu kelembagaan yang khusus mengurusi kebijakan terkait urusan kelapa sawit.
Kelembagaan tersebut, lanjut dia, nantinya diberi kewenangan sedemikian rupa sehingga dapat melakukan integrasi kebijakan terkait urusan kelapa sawit, sekaligus melakukan pengawasan implementasi regulasi terkait urusan kelapa sawit tersebut. “Dalam hal ini, pemerintah perlu membentuk badan nasional urusan kelapa sawit yang berada langsung di bawah presiden,” ucap dia.
Yeka menargetkan badan khusus urusan sawit tersebut berada langsung di bawah presiden dan berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) guna mewujudkan tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
Ia meyakini bahwa pengembangan industri kelapa sawit tidak cukup ditangani oleh satuan tugas (satgas) maupun satuan kerja (satker) antarkementerian.
Menurut Yeka, pengembangan industri kelapa sawit memiliki kerumitannya tersendiri, baik dalam hal perizinan hingga penataan lahan sehingga membutuhkan satu komandan berupa satu badan di bawah presiden. "Tumpang tindih lahan, tumpang tindih perizinan. Semua karena apa? Karena kebijakannya disematkan di masing-masing institusi," kata Yeka.
Yeka juga mendasari usulan pembentukan badan urusan sawit tersebut dalam rangka meniru praktik tata kelola sawit di Malaysia. Negeri Jiran tersebut memiliki sebuah badan bernama Malaysian Palm Oil Board (MPOB). "Indonesia harus memiliki hal yang sama biar bisa mengembangkan industri kelapa sawit," katanya.
Perbaikan tata kelola industri sawit diyakini oleh Ombudsman dapat memberi tambahan nilai ekonomi hingga Rp279 triliun. Dengan nilai kapasitas industri kelapa sawit yang saat ini senilai Rp729 triliun, Yeka mengatakan seusai perbaikan tata kelola akan meningkat hingga mencapai Rp1.008 triliun.
"Nilai Rp1.0008 triliun itu bukan angka kecil. Sumbangannya kepada APBN pun bisa mencapai Rp150 triliun. Itu layaklah untuk menjadi badan baru," kata Yeka.
Yeka mengatakan badan khusus urusan sawit tersebut perlu diberi kewenangan yang cukup untuk melakukan pengaturan, pembinaan, pendampingan dan pengawasan terkait urusan yang berkaitan dengan industri kelapa sawit.
Kewenangan tersebut diperlukan mengingat permasalahan utama dalam tata kelola industri kelapa sawit adalah karena kebijakan yang mengatur industri kelapa sawit tidak terintegrasi dengan baik sehingga sulit mencapai target yang diharapkan. (DIS)