Aroma Durian dan Caleg

Ahmadi Sopyan-dok-

Oleh : AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

SaYA tidak perlu risau menikmati manisnya durian yang diantar Rahman Desa Pelangas, sebab dia bukan Caleg. Maklum, tahun ini aroma manisnya janji caleg mengalahkan aroma durian.

 ------------

HAMPIR saja setiap orang yang datang ke kebun saya, selalu protes mengapa saya tidak menanam durian. Saya bilang: “nggak mau ikut-ikutan, wong yang nanam sudah sangat banyak” begitulah celoteh saya. padahal saya dan keluarga adalah penyuka durian, namun Alhamdulillah setiap musim durian, selalu kebagian rezeki, ada saja yang mengantar. 

Memang, hanya sedikit orang Indonesia yang tidak berselera dengan buah durian. Banyak orang yang menyukai aroma, rasa dan teksturnya, sementara ada juga yang tidak sanggup menghirup aromanya yang begitu tajam menusuk lubang hidung yang rasanya hingga ke otak. Durian atau Duren (bukan Duda Keren, lho) kerapkali dijuluki sebagai King of Fruits alias Raja Buah-Buahan. Walaupun kulitnya berduri tajam, tapi banyak orang yang bangga menenteng serta menunggu saat tiba musim durian. Pemilik pohon durian umumnya begitu sedih jika pohon duriannya tak berbuah. Pohon yang tumbuh subur di banyak “kelekak” Pulau Bangka dan Belitung ini benar-benar memberi warna tersendiri ditengah kehidupan sosial masyarakat kita jika sudah musimnya. Ternyata, tak hanya memberi warna kehidupan sosial, tapi durian memberikan filosofi kehidupan bagi kita semua.

Sebagai buah yang asli Indonesia, Durian tak hanya nikmat dirasa dan menusuk dalam aroma, tapi ia memiliki filosofi atau makna kehidupan bagi kita. Aromanya yang begitu tajam menyengat pastinya membuat orang lain sudah tahu ada durian di sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa jati diri seseorang akan ditandai oleh “aroma perbuatan” yang kerapkali dilakukannya. Orang mengenal seseorang dari apa yang sering ia lakukan terhadap orang lain. Misalnya, mendengar nama komedian Komeng, pastinya kita sudah tersenyum dan membayangkan kelucuannya. Menyebut nama Ustadz Abdul Somad kita sudah membayangkan ceramahnya yang mendidik, lugas dan tegas. Mendengar nama Rhoma Irama, yang pasti kita langsung teringat akan lagu-lagu dangdut yang ia suarakan. Begitulah cara orang mengenal kita dari apa yang kita tebarkan aroma kebaikan ataukah keburukan. Dari durian yang beraroma tajam ini mengajarkan kita bahwa jangan pernah minder menunjukkan jati diri kita sebagaimana durian yang memiliki karakter tersendiri dan dari jauh aroma itu sudah tercium walau bendanya belum kelihatan. Artinya, seseorang akan dinilai dari karakter, maka perkokoh karakter sebagaimana karakter buah durian yang beraroma tajam.

Sebagaimana kebanyakan buah-buahan, Pohon Durian akan menghasilkan buah jika sudah musimnya. Ini mengajarkan kepada kita bahwa setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Semua akan diatur oleh waktu yang menentukan. Ketika sudah musimnya, itulah saat nikmat mencicipi buah durian, begitupula dengan seseorang akan sangat menikmati capaian keberhasilan pada waktu dan tempat yang tepat. Orang yang meraih nama dan keberhasilan dengan cara instan apalagi dipaksakan, umumnya akan mudah tergelincir dan hilang begitu cepat dari peredaran. Pohon durian yang berbuah bukan pada musimnya, maka umumnya tidak membuat banyak orang menjadi tertarik dan tak bertahan lama keberadaannya.

Dinamakan Durian karena seluruh kulitnya memiliki duri-duri tajam kecuali tangkainya yang tak begitu panjang sebagai pegangan. Walau sama-sama memiliki duri dikulitnya, tapi warna isi durian dan rasa bisa berbeda. Karena selera semua orang tak mungkin sama, maka durian memberikan rasa yang berbeda untuk dapat disantap banyak orang. Ada yang isinya manis sekali dengan warna kuning, bahkan ada yang warna merah seperti durian Banyuwangi, ada yang biji “kelempet”, ada yang manis sedikit pahit dan sebagainya. Semua orang bisa memilih sesuai selera dan menikmati durian hingga tak tersisa. Hal ini mengajari kita bahwa setiap persamaan itu memiliki perbedaan. Perbedaan itulah menjadi warna kehidupan dan menunjukkan kebesaran Tuhan.

Uniknya walaupun dalam satu buah, tapi isi durian dipisahkan beberapa bagian dengan disekat oleh kulit dalamnya. Ini berfilosofi bahwa setiap kita ada kelompoknya, ada organisasinya, ada pasukannya, ada komunitasnya. Namun sekat itu terbungkus oleh satu kesatuan yakni buah durian. Begitupula kita, disekat dalam satu kesatuan, walau terpisah pulau oleh pulau, berbeda agama, suku, bahasa dan budaya, tapi kita adalah INDONESIA.

Selain itu, Durian ternyata memiliki banyak jenis, ada cumasi, tembaga, montong, petruk, bubur dan puluhan jenis lainnya, namun namanya tetap DURIAN. Ini menunjukkan kehidupan toleransi dapat kita pelajari dari buah durian. Bangka Belitung yang memiliki banyak suku, budaya, agama, bahasa yang berbeda, tetaplah sebuah Provinsi yang harus kita bangun bersama yakni Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Begitupula Indonesia yang memiliki banyak perbedaan namun tetap dalam satu wadah yang menyatukan Bhennika Tunggal Ika. 

Selanjutnya, Durian memiliki kulit yang keras tapi isinya tetaplah lembut dan manis. Ini mengajarkan akan kokohnya pendirian yang tak mudah goyah. Walau durian memiliki duri yang tajam, tapi mayoritas orang yang mengenalnya pasti tak sabar lagi untuk segera membelah dan menikmati kelembutan dan manisnya rasa yang akan ia sajikan. Kulit durian yang berduri bukan untuk menyakiti, tapi untuk melindungi biji buahnya dari pemangsa. Biji buah inilah yang pada akhirnya akan tumbuh menjadi pohon untuk meneduhkan hutan dan menghasilkan buah untuk melanjutkan siklus yang sama. Sifat yang sama juga harus kita miliki, kita tegas bukan karena membenci seseorang, tapi karena melindungi sesuatu yang lebih penting.

Durian yang berduri namun memiliki rasa yang lembut dan manis berbeda dengan buah kedondong yang luarnya begitu mulus namun isi didalamnya berduri tajam. Hal ini mengajari kita bahwa di era pencitraan seperti ini jangan terlalu mudah terpesona dengan sesuatu yang terbungkus bagus. Era pencitraan adalah zaman dimana alkohol bermerek zam-zam, dukun bersorban ulama, serigala berbulu domba, cacing mengaku diri sebagai naga dan monyet pakai mahkota lalu cengengesan tanpa tahu makna sebuah makhota. Begitulah yang telah terjadi di era sekarang. Kita sering terlena dengan sebuah pencitraan luar, lebih mementingkan bungkusan ketimbang isi. 

***

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan