Komunitas Anti Maladministrasi, Pembawa Harapan yang Dinanti
Kgs Chris Fither-Dok Pribadi-
Komunitas ini bukan sekadar organisasi, tetapi gerakan moral. Ia menjadi ruang belajar bersama, tempat masyarakat terbiasa kritis, memahami hak layanan, berani bersuara, dan melawan maladministrasi. Komunitas Anti Maladministrasi harus menjelma menjadi tindakan nyata dengan melakukan edukasi publik, mengawasi pelayanan, berdiskusi tentang isu keadilan sosial, dan menjadi mitra Ombudsman dalam pencegahan maladministrasi.
Seperti kata Lisa Veneklasen dalam bukunya A New Wave of Power, People & Politics, ada empat tingkat kesadaran: pasif, mempertanyakan, analitis, dan kritis aktif. Masyarakat yang sadar secara kritis aktif adalah masyarakat yang tak lagi diam, tetapi penggerak perubahan. Komunitas Anti Maladministrasi nantinya diarahkan untuk mencapai tingkat kesadaran ini, kesadaran yang lahir dari pengetahuan dan kepedulian.
Komunitas Anti Maladministrasi yang melibatkan mahasiswa adalah langkah nyata menghidupkan kembali semangat idealisme kampus. Dalam sejarah bangsa ini, mahasiswa selalu berada di garda depan perubahan. Dari 1908 hingga 1998, suara mahasiswa menjadi palu guncang yang mengubah arah negeri. Kini, tantangan mereka bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan oleh ketidakadilan birokrasi.
Mahasiswa memiliki tiga kekuatan yang tak dimiliki kelompok lain: pengetahuan, idealisme, dan jaringan sosial. Mereka bisa menjadi agen literasi publik yang menyebarkan pemahaman tentang hak-hak pelayanan, menjadi mata dan telinga masyarakat di daerah, sekaligus jembatan antara Ombudsman dan warga.
Mereka tidak hanya mempelajari teori etika publik di ruang kuliah, tetapi menerjemahkannya dalam tindakan nyata. Seperti dikatakan Soe Hok Gie, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Dalam konteks pelayanan publik, mahasiswa harus berdiri kritis daripada diam menyaksikan ketidakadilan birokrasi yang menindas warga kecil.
Lebih lanjut, Komunitas Anti Maladministrasi ini diharapkan hadir sebagai bentuk kesadaran kolektif untuk saling mengingatkan. Ia menumbuhkan empati sosial, mendorong keberanian melapor, dan membangun budaya baru bahwa pelayanan publik yang berkualitas adalah hak. Banyak hal memang yang harus dilakukan. Tapi langkah kecil harus dimulai.
Mulai dari peningkatan literasi publik tentang pelayanan publik. Literasi publik menjadi senjata utama melawan maladministrasi. Banyak warga tidak tahu kemana harus mengadu ketika diperlakukan tidak adil oleh petugas pelayanan. Bahkan, parahnya ada pengguna layanan yang takut melapor karena merasa terintimidasi dengan kekuasaan.
Melalui komunitas ini, literasi publik disebarkan secara horizontal, oleh warga untuk warga, oleh mahasiswa untuk masyarakat. Mereka bisa turun langsung ke sekolah, kampus, dan desa, mengajak masyarakat mengenal Ombudsman, memahami prosedur layanan, dan mengetahui haknya sebagai warga negara.