Tanpa Puja-Puji
Kristia Ningsih.-Dok Pribadi-
Lantas, apa yang lebih penting? Sekarang lihatlah diri kita. Apakah kita hanya sebagai pengajar belaka atau sudah menjadi pendidik juga? Bagi sektor lain, ‘pengajar’ ataupun ‘pendidik’ barangkali hanyalah sebuah kata. Namun, bagi seorang guru, istilah ini bak peluru. Peran kita dikaitkan dengan kualitas pendidikan nyaris 300 juta penduduk Indonesia. Bagaimana bisa seolah semuanya tanggung jawab kita? Itulah utamanya orang-orang yang hidup dalam dunia pendidikan.
Ditambah lagi dengan negara kita yang agenda pendidikannya memang prioritas ataukah formalitas. Singapura, yang air saja harus membeli dari negara lain, melalui prioritas pendidikan berhasil melahirkan orang-orang cerdas dan nasionalis. Lalu mereka membangun hingga ia menjadi negara maju (meski kecil dan tak punya banyak sumber daya alam).
Sederhananya, apa pun situasinya, seorang guru semestinya orang yang ingin maju. Sekalipun, sayangnya definisi “maju” sering kali dikaitkan dengan jumlah rupiah yang berlimpah (yang mana guru tidak banyak yang sekaya pebisnis). Ya, kalau sibuk cari duit, sangat besar peluang guru tak sibuk memajukan anak didiknya. Barangkali juga, inilah alasan dari maraknya komersialisasi pendidikan. Kasihan jika demikian, pendidikan jadi tak sesuai cita-cita undang-undang: bukan gratis dan hak semua penduduk, melainkan hanya untuk yang kaya saja.
Kebanggaan seorang guru ialah memandu tanpa puja-puji. Oleh karenanya, mari kita jaga martabat guru. Guru adalah pemengaruh, tetapi bukan dengan joget-joget plus berlagu, melainkan dengan sikap. Sikap dan pikiran bijak lagi maju.***