Mutiara dari Pesisir
Nursubah.-Dok Pribadi-
Nursubah
Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri Olahraga Muhammad Noer
Kawanan burung camar terbang rendah di atas laut. Sesekali menyambar ikan yang muncul ke permukaan. Lalu membawa hasil tangkapannya menjauh. Angin memainkan bendera merah putih yang warnanya memudar di tiang haluan perahu motor kesayangan Abak yang bertulis “Mutiara dari Pesisir.”
“Mengapa perahu ini Abak beri nama Mutiara dari Pesisir?”
“Kau penasaran?” Abak tersenyum bijak, “Mutiara adalah permata bulat yang terbentuk karena kerasnya kehidupan laut. Mutiara dari Pesisir, adalah bukti bahwa Abak dan emakmu telah melewati fase seperti mutiara, diuji dengan kerasnya hidup hingga menemukan keindahan. Sama halnya ketika kami menamaimu Badrun, artinya “bulan purnama.” Saat bersinar, cahayanya mampu menerangi gulita. Itu doa kami.
Ah, sudah hampir magrib, ajak adikmu ke surau.”
Aku mengangguk patuh. Usai salat magrib kami makan. Tak lama, kulihat Abak berkemas-kemas hendak melaut. Kedua adikku yang membantu membawa keperluan Abak, sudah kembali ke rumah. Tinggal aku yang masih setia menunggu Abak berangkat.
“Pulanglah, sudah malam. Besok kau harus sekolah,” ujarnya.
“Aku mau ikut Abak melaut saja. Kasihan Abak, kerja mati-matian untuk kami.”
“Hei, Badrun, Abak kumpulkan uang untuk bekal kau bersekolah di kota! Apa kau mau hidup seperti Abakmu ini? Lihatlah Abak. Kerja kasar, kulit hangus, tebal, dan rekah-rekah! Ayolah Badrun, jadilah pencetak sejarah baru di keluarga kita! Kau selalu ranking dari SD. Abak sangat bangga padamu. Lanjutkan sampai sarjana, doktor, profesor, apa itu istilahnya Abak tak paham. Tidak seperti Abakmu ini yang kere dan buta huruf. Pokoknya Abak mau kau sekolah tinggi-tinggi, jadi seperti Habibie, Bung Hatta, atau Tan Malaka! Abak ingin kau menjadi ‘mutiara’ dan ‘bulan purnama’ itu, Badrun. Bersinar di tengah gelap, bertahan meski dihantam ujian.”
Malam itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Abak. Siaran berita di TV menyiarkan bahwa malam itu akan ada hujan badai. Rasa khawatir menghantuiku. Benar saja, malam itu, badai menerpa desa. Abak tidak pulang pagi itu.
***
Aku diterima di SMA favorit milik yayasan dari BUMN ternama yang berisi anak-anak orang perlente. Lihatlah Abak, aku berdiri sejajar dengan anak manajer, kepala bidang, dokter perusahaan, atau pengacara. Banggakah kau, Abak?