Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial BudayaBAHKAN dalam organisasi atau kelompok preman pun memiliki aturan, agar terjaga jalannya organisasi/kelompok, tidak sembarang sibeng sana sibeng sini, apalagi harusnya instansi pemerintah.
JAUH sebelum begal jalanan populer, sebetulnya dalam berbagai sejarah, pembegalan dalam berbagai bidang kehidupan baik dalam organisasi, instansi, lembaga, maupun negara sudah lama terjadi. Pembegalan yang tejadi karena berbagai faktor, baik itu dendam pribadi, ambisi pada posisi (jabatan), popularitas, harta, wanita dan sebagainya. hal ini pastinya didasari oleh ketidakdewasaan atau kebijaksanaan dalam menata diri (mental spiritual). Tapi juga tak dipungkiri, dalam organisasi agama yang harusnya menjadi teladan pun tetap terjadi hal demikian. Bahkan orang yang dipanggil ustadz, syaikh, kiyai, pastor, pendeta, biarawati, ulama, dan sebagainya tidak dipungkiri dapat melakukan hal yang menjijikan, yakni “sibeng” sana “sibeng” sini yang akhirnya terjadi pembegalan pada kawan seiring seperjalanan.
“Sibeng” adalah tutur lisan masyarakat Pulau Bangka yang bermakna “menyikut” orang dengan menggunakan siku (sigong) sehingga orang yang “disibeng” akan merasa sakit dan yang pasti berpindah posisi. Umumnya orang yang “menyibeng” (melakukan sibeng) adalah orang yang sedikit lebih memiliki kekuatan fisik ketimbang orang yang “disibeng”. Demikian adanya ketika “sibeng” ini diistilahkan dalam dunia kerja, hukum, politik, sosial kemasyarakatan, bisnis dan lain sebagainya.
Mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompok adalah pembegalan yang sangat tidak terhormat. Pun demikian sebaliknya, mengangkat seseorang karena dari hasil mengangkangi konstitusi, mencari celah pembenaran bukan kebenaran, adalah upaya kotor yang pastinya menghasilkan keburukan pada banyak orang. Apalagi jika itu terjadi pada sebuah negara yang notabene menganut sistem demokrasi. Perilaku “sibeng” ini terjadi karena moralitas seseorang yang jauh dari etika, keilmuan, kebijaksanaan diri, kualitas dan integritas. Orang yang melakukan “sibeng” sebetulnya adalah orang yang secara bathin sangatlah tidak sehat dan hanya akan menjauhkan dirinya dari kebenaran dan kehormatan murni. Andaipun penghormatan itu ia dapatkan, yakinlah penghormatan palsu dan tidak akan abadi bahkan diingat sejarah sebagai orang yang berperilaku “buruk” semasa hidupnya.
Negeri kita yang diperjuangkan oleh darah para pejuang kemerdekaan (Rakyat) maka sudah seharusnya tidak ada satu orang pun di negeri ini yang dispesialkan atau dinomorsatukan, terutama dalam masalah penegakan hukum. Ketika sebuah konstitusi, aturan, hukum, undang-undang sudah dikangkangi, maka pastilah akan melahirkan kehancuran-kehancuran perjalanan demokrasi pada perjalana waktu kedepannya.
Seorang pemimpin yang dilahirkan dari perilaku “sibeng kiri sibeng kanan” dipastikan akan melahirkan oknum-oknum begal (pembegal) konsititusi berikutnya. Disisi lain, begal anggaran, begal administrasi, begal politik (sudah umum terjadi), begal pendidikan dan sebagainya akan menjadi cerita perjalanan sebuah negeri. Makanya jangan heran, sedikit demi sedikit yang bermoral akhirnya menjadi menghindar dari hiruk pikuk dunawi, yang berprestasi akan mati kariernya, yang baik menjadi buruk dan yang buruk diangkat dengan cara disandera kasusnya, yang bodoh sering tampil, yang pintar diplintir. Makanya jangan heran, dalam memilih pemimpin akhirnya bukan yang memiliki gagasan cemerlang, trackrecord bersih, tapi sebaliknya, yang bisa bikin tertawa dan lucu-lucuan.
Melihat dan merasakan fenomena negeri hari ini, tak perlu kita analisis yang mendalam jika kondisi bathin masih sehat wal afiat, sebab betapa kronis penyakit yang dialami hingga mengangkangi konstitusi. Seringkali saya istilahkan, negeri yang sakit dengan dokter yang sakit pula. Semua ini terjadi adalah akibat lemahnya moral aparatur negeri ini, terutama para pemegang kekuasaan. Sedangkan para elite partai yang menikmati kursi di Legislatif terlalu sibuk mengurusi masalah politik kekuasaan, saling membegal satu sama lain, sehingga tak ada waktu untuk mengurusi persoalan rakyat. namun kita tetap optimis, bahwa akan muncul “dokter-dokter” yang ahli dan professional untuk sedikit demi sedikit mengobati penyakit kronis negeri ini, minimal tidak menjalar pada organ lainnya.
Sebab, jika ini terus terjadi, akhirnya rakyat pun masing-masing hidup di negeri yang tak punya kepastian, menyelamatkan diri masing-masing. Mengamankan diri sendiri dari pembegalan-pembegalan dan “sibeng sana sibeng sini” dalam bentuk apapun. Bahkan sudah lama terjadi antar rakyat sendiri saling “sibeng” satu dengan yang lainnya.
So…, Quu amfusakum wa ahlii kum naaro (selamatkan diri dan keluargamu dari api neraka). Nah di Indonesia saat ini “api neraka” yang harus kita hindari adalah “menyibeng” dan “disibeng” dalam lini kehidupan. Oya, untuk para Caleg, tunjukin prestasi dan gagasan serta pendekatan yang baik, jangan saling “sibeng”. Jagalah sigong (siku) anda, tapi ingat, jangan sampai “burok sigong” (barang yang sudah diberi, karena tak terpilih maka diambil lagi). Kalau ini terjadi, maka pastilah busuknya menjalar ke hidung rakyat dan menjadi catatan sejarah “burok sigong” akibat main “sibeng”.
Salam Sibeng! (*)