Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
PADA Tanggal 19 Desember 1948 Pemerintah Belanda melancarkan agresi militer Belanda Kedua dan ibukota Republik Indonesia Yogyakarta jatuh ke tangan pasukan Belanda.
-----------
PRESIDEN dan Wakil Presiden pada Tanggal 19 Desember 1948 dalam keadaan genting sempat mengeluarkan Surat Kawat yaitu “Mandat Presiden kepada Sjafruddin Prawiranegara. Kami Presiden Republik Indonesia, dengan ini menerangkan ibu kota Yogyakarta telah diserang pada tanggal 19 Desember 1948 pukul enam pagi. Seandainya Pemerintah tidak dapat lagi melakukan fungsinya kami memberikan kuasa kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintah Darurat di Sumatera”, kemudian Surat Kawat kedua ditujukan kepada Dr. Sudarsono dan Mr Maramis di New Delhi, LN. Palar di New York berbunyi sebagai berikut :
“Jika ichtiar Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara Dr. Soedarsono, Palar dan Mr. Maramis, dikuasakan untuk membentuk exile-Government di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap ambil tindakan-tindakan seperlunya” (ANRI, 1989 ; Ide Anak Agung Gde Agung, 1991: 209).
Pada Tanggal 22 Desember 1948 para pemimpin republik diasingkan ke Pulau Bangka, Brastagi dan Parapat di Sumatera Utara. Wakil Presiden Bung Hatta, Ketua BP KNIP, Asaat, Sekretaris Negara, A.G. Pringgodigdo dan Komodor Suryadarma diasingkan di Menumbing Mentok Bangka, sementara Presiden Sukarno, Menteri Luar Negeri, Haji Agus Salim dan Penasehat Presiden, Sutan Sahrir diasingkan ke Brastagi dan kemudian dipindahkan ke Parapat Danau Toba.
Selama menjadi tahanan di Bangka, Wakil Presiden Mohd. Hatta menjalankan pemerintahan pengasingan. Dalam Arsip ANRI ditemukan satu Surat berkop Wakil Presiden REPUBLIK INDONESIA, Muhammad Hatta yang ditujukan kepada L.N. Palar, Perwakilan Republik Indonesia di PBB, New York. Surat 3 halaman berkop Wakil Presiden REPUBLIK Indonesia, diketik dan ditandatangan oleh Mohd. Hatta di Menumbing bertanggal 2 Mei 1949, sedangkan tembusan surat ditujukan kepada J.M. A.A. Maramis, Menteri Luar Negeri a.i. Rep. Indonesia di New Delhi, selanjutnya arsip surat tersebut diketik warna merah REPUBLIC OF INDONESIA kemudian di bawahnya diketik Date reed dan ditulis tangan tanggal 5/14/49 dan di bawahnya berurutan Palar, Sumitro, Sudjatmoko, Sudarpo, Basoeki, J.Mintz, B.Belt dan tulisan Remark: dan surat diawali dengan Salam Merdeka,.
Surat ini menjadi penting bagi rakyat Bangka karena diketik menggunakan kertas surat berkop Wakil Presiden Republik Indonesia dan bertanggal Menumbing 2 Mei 1949, yang menunjukkan bahwa, Pemerintahan Republik Indonesia masih berlangsung di tempat pengasingan di Pulau Bangka. Kesimpulan sejarah ini lebih diperjelas lagi dalam alenia kesepuluh, kesebelas dan kedua belas isi surat yang menyatakan:…. Pendapat saudara bahwa “Kabinet Hatta masih tetap Pemerintah resmi, sedang Pemerintah Darurat (adalah) Pemerintah jang mendjalankan pekerdjaan sehari-hari” adalah dari semulanja pendapat kami, berdasarkan alasan jang djuga saudara kemukakan. Apalagi K.T.N. hanja mau mengakui kami disini dan tak mau berhubungan dengan Pemerintah Darurat, jang memang sukar didapat waktu itu. Kekuatiran kami makanja kami beranggapan begitu ialah supaja pemindahan kekuasaan sepenuh-penuhnja kepada Pemerintah Darurat djangan diartikan oleh Dunia International bahwa kekuasaan di Republik telah pindah ketangan Pemerintah jang belum diakui. Artinja memberi djalan kepada aliran jang mau menjingkirkan Republik sebagai partai jang bersengketa dimuka Dewan Keamanan.
Tjuma dalam segala hal, kami di Bangka berpendapat bahwa harus diadakan perhubungan jang rapat dengan Pemerintah Darurat jang tidak mudah dan lekas mendapatnja.
Politik jang kami djalankan – dan inilah satu-satunja dasarnja sehat menurut pendapat saja-didasarkan kepada pertimbangan kekuatan kita kedalam dan kekuatan kedudukan kita keluar….
Bila dbandingkan isi surat Mohd. Hatta tanggal 2 Mei Tahun 1949 dengan isi surat kawat mandat Tanggal 19 Desember 1948 di atas sangat bersesuaian: …Seandainya Pemerintah tidak dapat lagi melakukan fungsinya kami memberikan kuasa kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintah Darurat di Sumatera”, artinya baik Presiden dan Wakil Presiden ketika berada di Pengasingan di Pulau Bangka masih bisa menjalankan fungsinya. Jadi masa pengasingan pemimpin Republik Indonesia dari Tanggal 22 Desember 1948 sampai dengan tanggal 6 Juli 1949, selama 187 hari, Pemerintahan Republik Indonesia dilakukan melalui pemerintahan Pengasingan dari Bangka (Exile Government from Bangka).
Keberadaan Pemerintahan pengasingan di Pulau Bangka juga dikuatkan dengan Pemerintah Belanda dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) yaitu satu badan permusyawaratan federal bentukan Belanda yang didirikan setelah Konferensi Pangkalpinang dan Konferensi Bandung (Tanggal 29 Mei 1948) tidak pernah mengakui keberadaan PDRI dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang resmi didirikan berdasarkan penetapan presiden Tanggal 3 Juni 1947. Sikap Belanda dan BFO serta kemudian, juga menjadi sikap Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia) atau UNCI yang tidak mengakui keberadaan PDRI diwujudkan dengan tidak melakukan berbagai perundingan dengan kelompok PDRI, akan tetapi perundingan dilakukan dengan Kelompok Bangka atau “Trace Bangka” yang notabene merupakan tawanan Belanda. UNCI (United Nations Commission for Indonesia) sebagai pengganti KTN (Komisi Tiga Negara) selalu menghubungi pemimpin di Bangka terutama Bung Hatta. Sementara sikap Belanda yang tidak mengakui keberadaan TNI dan panglima besarnya Jenderal Sudirman, dengan selalu mengesampingkan dan menyebutkan TNI sebagai “pengikut Republik yang bersenjata”. Pernyataan ini sangat menusuk hati Panglima Besar Jenderal Sudirman, beliau dengan tegas mengatakan bahwa: ”satu-satunya hak milik Nasional Republik yang masih utuh tidak berubah-ubah meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan hanyalah Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI)” (SESKOAD, 1991:323).
Kenyataan pada waktu itu ialah, bahwa dunia internasional, khususnya badan-badan PBB seperti Dewan Keamanan dan United Nations Commission for Indonesia (UNCI), mereka tidak pernah mengakui dan berhubungan dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di pulau Sumatra. Jadi bisa diambil kesimpulan yang dimaksud dan diakui sebagai Pemerintah Republik Indonesia oleh Resolusi New Delhi pada Konferensi Asia di New Delhi, India pada Tanggal 20-23 Januari 1949 yang berisi: 1). pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta; 2). pembentukan Pemerintahan ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri, sebelum Tanggal 15 Maret 1949; 3). penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia; dan 4). penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat paling lambat pada Tanggal 1 Januari 1950, dan kemudian Resolusi Dewan Keamanan PBB Tanggal 28 Januari 1949 yang menuntut pembebasan “members of the Republican Government” (anggota-anggota Pemerintah RI) dan supaya Pemerintah Republik dikembalikan ke Yogya agar bisa “enabled to function freely” (dimungkinkan berfungsi dengan bebas) adalah pemimpin yang diasingkan di Bangka. Bahwa Pemerintah Darurat dalam pesannya yang dikirim kepada Nehru dengan tilgram dan ditandatangani oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara, menyatakan persetujuannya dengan Resolusi New Delhi tersebut, dengan tanggung jawab sepenuhnya “accept the decision with full responsibility” (Sastroamidjojo, 1974:267).***