Dalam aturan itu, pemimpin PTN wajib menetapkan tarif UKT Kelompok 1 dan 2. Kelompok UKT 1 sebesar Rp500 ribu, sementara UKT 2 sebesar Rp1 juta.
"Jadi pemimpin PTN dapat menetapkan kelompok selain kelompok tarif UKT dengan nilai nominal tertentu paling tinggi sama dengan besaran BKT yang telah ditetapkan pada setiap program studi," demikian bunyi Pasal 6 Ayat 4.
Jadi mengenai penetapan tarif UKT lebih dari besaran BKT pada setiap program studi bagi mahasiswa dengan kriteria diterima melalui jalur kelas internasional dan jalur kerja sama, rekognisi pembelajaran lampau untuk melanjutkan pendidikan formal pada perguman tinggi, serta berkewarganegaraan asing.
Adapun besaran tarif UKT paling tinggi dua kali besaran BKT yang telah ditetapkan pada setiap program studi.
Penetapan tarif UKT di PTN dilakukan setelah mendapat persetujuan dari kementerian. Sementara bagi PTN Badan Hukum, penetapan tarif UKT dilakukan setelah berkonsultasi dengan kementerian.
BACA JUGA:Anak Babel Kuliah Gratis
Pasal 12 menyebutkan persentase jumlah mahasiswa yang dikenakan tarif UKT kelompok I dan kelompok II serta mahasiswa penerima beasiswa dari keluarga kurang mampu berjumlah paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa baru yang diterima oleh PTN setiap tahun.
Lanjutnya, pemimpin PTN dapat meninjau kembali tarif UKT bagi mahasiswa jika terdapat perubahan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua ahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa.
Kemudian, ketidaksesuaian data dengan fakta terkait ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa.
Maka dengan mahalnya UKT ini membuat mahasiswa ramai-ramai memprotes UKT di perguruan tinggi negeri (PTN).
Dimana mahasiswa Universitas Soedirman (Unsoed), misalnya, yang protes lantaran kenaikan uang kuliah mencapai hingga lima kali lipat.
Protes mengenai UKT mahal ini pun diperkeruh dengan respons dari pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan, kuliah atau pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier alias pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun (SD-SMA).
Oleh sebab itu, pemerintah tidak memprioritaskan pendanaan bagi perguruan tinggi.***