Pada tahun 1153 M, Dhovemi menjadi raja Kerajaan Maladewa terakhir yang beragama Buddha sekaligus raja pertama yang beragama Islam.
Setelah itu, raja mengubah gelarnya menjadi Sultan bersama dengan gelar kerajaan Maha Radun, Ras Kilege atau Rasgefānu.
Muhammad al-Adil menjadi pendiri dari enam dinasti Islam di Maldives, dinasti ini menghasilkan delapan puluh empat sultan dan sultana.
Dinasti ini bertahan hingga tahun 1932 ketika kesultanan menjadi elektif.
Seorang pengunjung Muslim Sunni bernama Abu al-Barakat Yusuf al-Barbari dianggap sebagai orang yang secara tradisional mengubah kerajaan Maladewa menjadi kesultanan.
Ia dimakamkan di Medhu Ziyaaraiy dan berdampingan dengan Masjid Hukuru Malé di Maldives.
Masjid ini merupakan masjid tertua di Maladewa yang dibangun pada tahun 1656.
Sejarah Islam di Maladewa mengikuti konsep Islam bahwa masa sebelum kedatangan Islam disebut sebagai masa Jahiliah (kebodohan).
Pengenalan Islam pada akhir abad ke-12 Masehi dianggap sebagai landasan awal pembentukan negara Maladewa saat ini.
Perkembangan Islam di Maladewa pada abad ke-7 Masehi, namun tidak berlangsung dengan pesat bila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Asia Selatan.
Pada era kolonialisme, Kesultanan Maladewa beberapa kali di bawah kekuasaan Belanda dan Inggris.
Pada 1953 Inggris kemudian membekukan sistem Kesultanan Maldives hingga kemudian Maldives merdeka pada 26 Juli 1965 dari kekuasaan Inggris dan menjadi negara republik.
Tiga tahun setelah merdeka, sistem Kesultanan Maladewa secara resmi dihapuskan dan pemimpin pemerintahan bangsa ini dipilih secara demokratis.
Maldives adalah tujuan impian bagi banyak wisatawan karena pantainya yang indah, air yang jernih, dan kehidupan laut yang kaya.
Sebagai negara dengan penduduk 100% Muslim, Maldives memiliki peran penting dalam sejarah dan budaya Islam.
Konstitusi 2008 atau "Fehi Gānoon" menyatakan pentingnya hukum Islam di negara tersebut.