Rezim HAM internasional bekerja dalam kerangka negara-bangsa yang memiliki kedaulatan kuat, sehingga mekanisme eksternal sering kali tidak dapat dioperasikan tanpa persetujuan negara terkait. Dalam konteks Darfur, pemerintah Sudan mengeksploitasi prinsip non-intervensi dan kedaulatan nasional untuk menolak akses penyelidikan, membatasi operasi kemanusiaan, dan menghindari pertanggungjawaban hukum.
Selain itu, terdapat kesenjangan signifikan antara pembuatan norma dan penegakannya. Prinsip R2P yang diadopsi pada 2005 sebenarnya menjadikan pencegahan kekejaman massal sebagai kewajiban kolektif. Namun penerapannya pada kasus Darfur lemah akibat fragmentasi politik di Dewan Keamanan PBB, yang menjadi arena tarik-menarik kepentingan negara besar.
Ketidakhadiran respons tegas menunjukkan bagaimana veto negara anggota tetap dapat melemahkan tatanan HAM internasional dan menciptakan preseden impunitas. Di sisi lain, kritik bahwa ICC selektif atau “bias terhadap Afrika” memperlemah legitimasi institusi tersebut di mata negara-negara berkembang, sehingga membuat kerja sama politik semakin sulit.
Keterbatasan ini menunjukkan bahwa rezim HAM internasional masih memiliki ketergantungan besar pada negara sebagai aktor utama. Ketika negara pelanggar memiliki aliansi geopolitik yang kuat atau nilai strategis tertentu bagi aktor besar, mekanisme HAM internasional cenderung kehilangan efektivitas.
Dengan demikian, Darfur menjadi studi kasus yang menegaskan perlunya reformasi tata kelola global, mulai dari pembatasan hak veto dalam situasi kekejaman massal hingga penguatan independensi lembaga peradilan internasional. Kasus ini mengilustrasikan bahwa keberhasilan perlindungan HAM tidak hanya ditentukan oleh norma hukum, tetapi oleh distribusi kekuasaan dalam sistem internasional.
Di samping itu, kasus Darfur memperlihatkan bagaimana kekerasan sistematis dapat bertahan lama ketika terdapat asimetri kekuasaan antara pelaku negara dan populasi yang menjadi target. Literatur mengenai kejahatan massal menjelaskan bahwa negara yang memiliki kontrol terpusat atas aparat keamanan cenderung mampu memproduksi kekerasan yang terkoordinasi dan berulang tanpa hambatan berarti (De Waal, 2007; Mamdani, 2009).
Dalam konteks Darfur, kontrol pemerintah Sudan terhadap militer dan milisi Janjaweed memungkinkan beroperasinya pola kekerasan dengan karakteristik yang konsisten: penghancuran infrastruktur sipil, penyerangan terhadap kelompok etnis tertentu, serta penggunaan kekerasan seksual sebagai instrumen destabilisasi komunitas.
Pola ini sesuai dengan indikator kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma, yang menekankan unsur “serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil”. Dengan demikian, Darfur bukan sekadar konflik bersenjata, tetapi merupakan contoh konkret bagaimana struktur kekuasaan negara dapat dimobilisasi untuk melakukan kekerasan terencana yang melampaui batas-batas konflik konvensional.