OLEH: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
SISTEM besaoh merupakan bentuk adaptasi Orang Darat terhadap ekologi hutan tropis yang terbentang sangat luas dan dalam mengatasi berbagai tantangan guna memenuhi kebutuhan hidup.
ANTARA kelompok 5 hingga 10 bubung rumah pondok ume (memarung) peladang dengan kelompok peladang lainnya dihubungkan dengan jalan setapak atau jalan kecil yang sempit, tidak terawat serta sulit ditelusuri, kadang-kadang jalan tersebut harus dilewati dengan menyeberangi sungai kecil yang disebut masyarakat Bangka dengan aik tumbek. Sebenarnya jalan tersebut adalah jalan air ketika hujan yang kemudian berkumpul di sungai kecil atau aik tumbek yang dijadikan sebagai tempat pemandian.
Bangunan pondok ume di samping disebut memarung sering juga disebut dengan pangkul, bentuk bangunan bercirikan; memanjang ke belakang dengan bubung atap pelana (bubung gudang) dan liper (kanopi), terbuat dari material tumbuhan rumbia atau nipah, pada masa awal menggunakan atap dari kulit kayu. Selanjutnya dinding pondok ume menggunakan material kulit kayu, dengan lantai terbuat dari susunan kayu (jerejak) atau pelepah pohon Nibung atau pelepah pohon Ibul yang dianyam menggunakan akar tumbuhan ketakung atau ketuyut (kantong semar). Rumah berbentuk panggung (ditinggikan di atas permukaan tanah) dengan tinggi sekitar 50-150 cm, terdiri zona bangunan muka dengan pintu (lawang) dan jendela (tibek) di sisi depan dan dapur di bagian belakang (uma labu) yang berdiri di atas tanah lebih rendah dari bangunan muka dan terdapat tangga kayu berjumlah ganjil di muka dan belakang rumah dengan hitungan tangga, tunggu, tinggal, yang bermakna siklus atau daur kehidupan manusia yang bermakna, bahwa tangga sebagai perlambang kelahiran, tunggu sebagai perlambang kehidupan dan tinggal sebagai simbol atau perlambang kematian.
Pada masyarakat Mapur jumlah tangga memarung biasanya genap karena dalam pandangan mereka bila ada yang jatuh dari tangga akan mudah sembuhnya dan tangga menjadi penggenap bagian bagian dari memarung yang umumnya dibuat ganjil. Pada bagian bawah panggung rumah biasanya digunakan untuk menyimpan peralatan kerja, alat angkut kereta/kerito surong. Pada bagian muka pondok ume biasanya disiapkan pelanter (pelataran) untuk tempat mengirik dan menjemur padi serta untuk menaruh lanting lesung, kemudian dibuat juga antang-antang (pagar) di pelataran untuk menjemur kain.
Kegiatan menggalang atau pemitak berikutnya adalah membuat pemitak untuk jalan setapak yang membelah lahan-lahan ume dan yang menuju ke sumber mata air serta lokasi untuk penanaman padi cerak dan padi ketan. Padi cerak terdiri atas beberapa jenis yang disebut mayang anget, ampai, padi empat bulan, padi keteb, mayang besar, padi kutu, padi kuning, sedangkan padi ketan terdiri atas beberapa jenis yaitu ketan putih, ketan hitam, ketan pare dan ketan jawa. Pada saat mewabahnya penyakit beri-beri di pulau Bangka sekitar pertengahan abad 19 Masehi, mengkonsumsi Beras Darat atau Beras Merah ternyata efektif mencegah dan mengurangi penyakit beri-beri.
Langkah berikutnya adalah melakukan nuja, yaitu kegiatan menanam bulir atau biji padi. Bibit padi yang berasal dari panen tahun sebelumnya yang telah disimpan kemudian dipilih kembali untuk dijemur guna mengusir hama, setelah dijemur dibawa ke seseorang yang disebut pak Tue, yaitu orang yang mengetahui tentang seluk beluk padi, kemudian dipersiapkan perlengkapan berupa tuja yang terdiri dari dua batang kayu, biasanya jenis kayu yang keras seperti kayu jenis kayu Pelawan dan kayu Ibul.
Nuja dilakukan secara berkelompok, baik laki-laki maupun perempuan. Laki-laki melakukan nuja, yaitu membuat lobang-lobang dengan menancapkan tuja ke tanah sedalam lebih kurang 5 cm, sedangkan yang perempuan melakukan mene yaitu memasukkan bulir padi ke dalam lubang lebih kurang lima butir benih dalam satu lubang. Sebelum dimasukkan ke lubang, butir benih padi ditempatkan di punyuk. Dalam Perbandingan antara tukang tuja dengan tukang mene adalah satu orang nuja berbanding dua orang mene. Pada siang hari seluruh yang besaoh beristirahat untuk mandi, sholat dan makan dengan lauk pauk yang telah disiapkan diantaranya terdiri atas kulat ume (jamur ladang), kulat periak (sejenis jamur merang) dengan resep bumbu tiga (terasi, garam, cabe) ditambah rampai (campuran) ikan yang telah dikeringkan atau udang yang telah dikeringkan yang disebut lempah darat.
Makanan disiapkan oleh pemilik ume yang sedang dikerjakan. Bila rombongan besaoh mencapai Sepuluh orang, maka lahan yang dapat diselesaikan seluas sekitar satu hektar dalam satu hari. Setelah padi mulai tumbuh, maka dilakukan kegiatan menunggu ume. Bila ume yang sudah tumbuh itu tungen atau harus ditunggu karena ada gangguan-gangguan seperti pada siang hari diganggu oleh Kera dan Beruk serta kalau malam hari diganggu oleh Babi hutan, maka memarung sudah harus diperbesar, selanjutnya pondok ume mulai diberi dinding lalu disiapkan pelanter (pelataran) untuk tempat mengirik dan menjemur padi serta untuk menaruh lanting lesung. Kemudian dibuat antang-antang (pagar) di pelataran untuk menjemur kain. Bila keempat tapak (bidang) ume harus dijaga dari gangguan Kera dan Babi, maka pemilik ume harus melakukan penjagaan siang dan malam. Di samping itu untuk memagar padi dari gangguan biasanya digunakan pukat. Bila padi sudah tumbuh rata, maka penyiangan dari rerumputan dan tunas bekas rebak harus dilaksanakan. Kemudian pada pagi dan sore hari dari Empat tapak ume dilakukan pengasapan sesuai dengan arah angin yang bertiup untuk mengusir hama-hama padi.
Pengasapan dilakukan dengan mengumpulkan sisa-sisa kayu dan ditimbun dengan rerumputan basah hasil penyiangan sehingga membuat asap yang tebal. Setelah padi mulai bunting (berisi) dan ngurai (mengurai), maka sekeliling ume ditaber (ditawar dari penyakit) dengan air yang telah didoakan dengan membaca surat Al-Fatihah, Al-Falaq, An-Nas dan ayat Kursi menggunakan daun Kerenuse. Bila padi telah siap untuk dipanen, maka dalam rangka menghadapi panen atau yang disebut ngetem atau nuai padi, segera harus dipersiapkan pelanter atau pelataran, lanting lesung, penjaga semangat padi, terdiri dari buah limau antu (jeruk hantu) yang ditusuk dengan paku besar dan dioles dengan kapur sirih. Kemudian disiapkan pula kiding terbuat dari pelepah mengkuang (pandan hutan) yang berfungsi sebagai wadah, penggunaannya biasanya diikat di pinggang dan bila isi kiding telah penuh biasanya dipindahkan ke dalam kiding besar yang disebut tuluk serta disiapkan tikar dari pelepah mengkuang, untuk mengirik dan menjemur padi. Kegiatan mutik padi atau ngetem adalah masa yang sangat menggembirakan karena jerih payah yang dilakukan mulai dari nyarik hutan sampai kepada ngetem telah dilalui dengan perjuangan yang berat.
Kegiatan ngetem tidak hanya dilakukan oleh orangtua saja melainkan dilakukan pula oleh bujang dan dayang. Kesempatan seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh bujang dan dayang untuk saling kenal mengenal dan mencari jodoh. Pada hari yang telah ditentukan oleh pak Tue untuk memulai ngetem acarapun dimulai dengan membawa segala perlengkapan berupa pisau, kiding dan tuluk. Petikan pertama dilakukan oleh pak Tue kemudian diikuti oleh yang lain. Biasanya para datuk (sebutan untuk orangtua yang dihormati) menasehati, dalam melakukan panen agar padi yang dipanen jangan sampai banyak yang rontok berserakan atau jatuh ke tanah. Bila rontok atau jatuh ke tanah harus cepat dipungut lalu dimasukkan ke dalam kiding, bila isi kiding sudah penuh padi dikumpulkan ke dalam tuluk, cara meletakkan padi hasil panenan jangan diempeh (dihempas) karena kuatir semangat padi terganggu atau hilang.
Perlakuan terhadap hasil panen sangat diutamakan mengingat hasil yang diperoleh merupakan cadangan pangan selama setahun, kemudian semangat padi tetap terjaga agar padi yang dipanen tidak hampa serta untuk dijadikan bibit padi tahun berikutnya. Kegiatan ngetem akan berakhir menjelang sore hari yang ditandai dengan pak Tue menyimpulkan Tiga rumpun jerami dalam satu ikatan sebagai tanda batas antara yang sudah diputik (dipanen) dengan yang belum diputik. Hasil panen yang diperoleh pada siang hari, pada malam harinya diirik atau digeser dengan menggunakan kaki untuk memisahkan bulir padi dengan tangkainya, kemudian diungam, yaitu pemisahan tangkai padi dengan bulir padi dengan cara mengangkat tangkai padi.
Tangkai yang tidak ada lagi padinya dibuang ke tanah. Keesokan harinya hasil padi yang telah diirik dan diungam dijemur di atas tikar purun yang terbuat dari anyaman daun mengkuang dan dijaga agar jangan dimakan ayam atau burung dan ditunggu agar semangat padinya tidak hilang. Setelah dua hari dijemur biasanya pada malam hari padi tersebut sudah dapat ditutuk (ditumbuk) dalam lesung di atas pelanter. Cara menutuk padi dapat dilakukan hendirik (sendirian), tapi bila tidak memungkinkan dilakukan sendirian, harus ditambah dengan beberapa orang lagi yang disebut besaoh nutuk. Para gadis (dayang) sering mengajak temannya menumbuk padi secara bersama-sama pada malam hari. Masing-masing gadis membawa lima gantang padi atau lebih. Pada malam hari di seluruh kampung tampak cahaya lampu pelita berbahan bakar minyak tanah berkelip-kelip di halaman atau beranda rumah yang ada kelompok besaoh nutuk.(Bersambung)