Tanpa Puja-Puji

Tanpa Puja-Puji

Minggu 28 Sep 2025 - 19:42 WIB
Oleh: Admin

Oleh Kristia Ningsih

Penulis di Bangka Belitung

 

 

Ketika ada guru yang tiap hari naik gunung dengan gaji tak sampai 100 ribu rupiah; ada pula guru yang berjoget dan bergoyang di depan siswanya demi mengikuti tren media sosial. Ketika ada guru yang menekankan disiplin; ada guru yang dengan dalih dari A sampai Z membenarkan menyontek sebagai salah satu usaha yang dapat diterima. Dunia memang rupa-rupa. Namun, hal ini menjadi penting saat membahas pendidikan, di mana guru menjadi percontohan bagi siswanya.

 

Paling tidak, sebagai guru harus memiliki kompas perilaku, keterampilan, hingga kepribadian. Apa kompas yang sudah disepakati? Jika bicara Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, maka seorang guru mengacu pada empat kompetensi: profesional, sosial, kepribadian, dan pedagogi.

 

Empat kompetensi tersebut idealnya sudah melekat pada seorang guru profesional. Sederhananya, seorang guru secara keilmuan bukan hanya mengajar–pulang–terima gaji. Gerak semangatnya untuk terus belajar dan memperbarui diri tidak kalah dari siswanya yang punya segudang pekerjaan rumah. Secara kepribadian, ia mampu menghadapi karakter siswanya—dari yang selembut sutra hingga yang sekeras batu—dengan bijaksana.

 

Secara sosial, seorang guru berkontribusi langsung pada masyarakat sekitar. Secara profesional, guru dapat dikategorikan serba bisa (bukan karena memang sudah bisa dari awal, tetapi karena memiliki mental pembelajar). Ditekan administrasi bisa, dilambung hiburan tidak terpana, apatisme wali murid, protes siswa, evaluasi atasan tidak jadi drama—guru mampu tenang menghadapi itu semua. Belum lagi kisah rapat di akhir pekan sampai gaji dan tunjangan ‘dikerat’ dengan dalih sumbangan (padahal semua punya kebutuhan): sudah biasa.

 

Kompas demikian dapat dikatakan sebagai yang paling wajar dan standar. Kalau sekiranya dapat menjadi lebih baik—misalnya menjadi guru berprestasi tingkat daerah hingga nasional, menjadi narasumber pelatihan-pelatihan dasar atau membuat terobosan praktis untuk masyarakat—tentu inilah lebih dibutuhkan di dunia pendidikan. Guru yang demikian tidak lagi sibuk diberi motivasi, melainkan sebaliknya: kehadirannya bagai obor di remangnya malam perkemahan.

 

Lantas, apa yang lebih penting? Sekarang lihatlah diri kita. Apakah kita hanya sebagai pengajar belaka atau sudah menjadi pendidik juga? Bagi sektor lain, ‘pengajar’ ataupun ‘pendidik’ barangkali hanyalah sebuah kata. Namun, bagi seorang guru, istilah ini bak peluru. Peran kita dikaitkan dengan kualitas pendidikan nyaris 300 juta penduduk Indonesia. Bagaimana bisa seolah semuanya tanggung jawab kita? Itulah utamanya orang-orang yang hidup dalam dunia pendidikan.

Tags :
Kategori :

Terkait