Derajat Haji Mabrur/rah
Dengan demikian, seorang yang pulang ibadah haji dari tanah suci sebenarnya secara batiniah baru saja pulang bertemu Allah Swt dan Rasulullah Saw di Baitullah dan kemudian pergi kembali ke kampung dunia yang fana. Proses ini secara mikrokosmis merupakan perjalanan ke dalam, bukan keluar. Perjalanan ke diri sendiri untuk menilai, mengoreksi dan menimbang rasa, bukan menilai orang lain.
Sebuah proses dinamis, berubah, dan bergerak terus berlangsung sepanjang hayat manusia. Proses ini merupakan jalan jihad peperangan paling berat yang dalam setiap diri manusia. Sementara yang namanya manusia memiliki hawa, nafsu, dunia, dan syetan.
Perang melawan hawa, nafsu, dunia, dan syetan yang juga bersemayam dalam diri manusia inilah ujian paska haji yang harus dilalui untuk mencapai derajat haji mabrur/rah.
Sehingga ukuran mikrokosmis yang paling kecil apakah kita sudah mencapai derajat haji mabrur/rah, adalah hati kita masing-masing. Selain Allah Swt, kitalah yang paling mengetahui keburukan diri kita masing-masing.
Sepandai-pandai kita merahasiakan suatu prilaku kepada orang lain, rahasia tersebut tidak akan lolos dan luput dalam hati. Sebab hati memiliki kekuatan dan paling otoritatif untuk mencatat semua perilaku yang dirahasiakan.
Sementara ukuran makrokosmis apakah haji kita sudah mencapai derajat haji mabrur/rah, adalah penilaian yang diberikan manusia dan lingkungan sosial sekitar kita. Jika kita membawa kebaikan dan kemanfaatan sosial setalah pulang haji, ada perbedaan yang mampu menggerakkan orang lain untuk berubah dari salah ke soleh, itu sudah cukup untuk mengukur derajat mabrur/rah bagi orang yang baru pulang haji.
Ini juga bukan persoalan mudah. Sebab, selama manusia masih hidup dirinya akan terus digelantungi sifat hawa, nafsu, dunia, dan syetan. Sifat ini seperti bisikan halus dari bilik hati yang selalu dihembuskan oleh Iblis. Itu pula sebabnya setelah pulang dari haji senantiasa kita harus berserah diri dan berlindung pada Allah Swt dari bisikan Iblis.