Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
PADA masa Hindia Belanda kegiatan-kegiatan pada Bulan Syakban diterangkan dalam berbagai Koran Belanda, misalnya pada berita di De Indische Courant van Woensdag 25 Februari-1931,-Tweede Blad:
“DIE nacht wandelingen warden eigendunkelijk aangeduid met: sja’banan, dus genaamd naar de achtste Moslimsche maand: Sja’ban, gedurende welke aan de geesten der afgestorvenen wordt geofferd en die door de Inheemschen ook wordt geheeten Roewah, een verbastering van het Arabische word: arwahh, het meervoud van roehh- geest. Na afloop van de cultus-oefening in de missigit, trekken onze feestgedoste Moslims naar oudere familieleden om vergeving te vragen voor mogelijk aan-gedaan leed of gepleegde tekortkomingen, brengen hun den soengken, voetkus, bezoeken de graven en offeren hun pitrah aan den modin, geestelijke, als hun schatting aan het armenfonds.
Maksudnya kira kira: Kegiatan atau acara malam ini sebenarnya disebut sebagai: Sya'banan, dinamai menurut bulan kedelapan umat Islam: Sya'ban, dimana pengorbanan dilakukan kepada roh
orang mati dan yang juga disebut Ruwah oleh masyarakat adat, sebuah kata dari bahasa Arab:
arwah, bentuk jamak dari roehh-roh. Setelah melakukan beberapa ritus ibadah di masjid, umat Muslim berpakaian meriah/bagus mendatangi sanak saudara yang lanjut usia untuk meminta maaf atas kemungkinan kesalahan/kekhilafan atau kekurangan yang telah dilakukan, melakukan salaman, bahkan mencium kaki, berziarah ke kuburan dan mempersembahkan pitrah (sedekah maksudnya) mereka melalui Modin (seorang pegawai yang mengurus keagamaam dan yang membantu Penghulu kampung dalam berbagai upacara keagamaan), sebagai penghormatan mereka kepada orang miskin.
Dalam rangka menyambut Bulan Suci Ramadhan atau Bulan Puasa (bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriah), umat Islam di Pulau Bangka pada Bulan Syakban (bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriah dan sering disebut Bulan Ruwah), tepatnya menjelang dan pertengahan Bulan Syakban (puncaknya) dan hari-hari sesudahnya sampai menjelang Bulan Ramadhan melakukan berbagai upacara adat dan tradisi, khususnya untuk memperingati Nisfu Syakban, misalnya dengan melakukan pembersihan kuburan dan ziarah kubur keluarga, membaca doa dan Yasinan (surat Yasin), melaksanakan kegiatan Ruwahan (Sedekah Ruwah) baik yang dilaksanakan di masjid/surau atau langgar dan balai adat maupun dilaksanakan di masing-masing rumah tangga keluarga batih monogami. Perayaan di beberapa kampung di Pulau Bangka pada saat acara tampak sekali dengan kemeriahan, bahkan lebih besar dan meriah dari Dua Hari Raya, Idul Fitri dan Idul Adha, misalnya acara Ruah Kubur di Kampung Kretak, Kampung Pusuk dan hampir di seluruh kampung di Pulau Bangka. Kegiatan Ruwahan biasanya ditutup dengan acara Nganggung besar-besaran. Selanjutnya ada acara Nyiang Kubur (membersihkan kubur) bersama-sama atau “begerujok” seperti di Kampung Sungkap, bahkan ada acara “Penimbongan” dan “Perang Ketupat” di Kampung Tempilang Bangka Barat serta kegiatan atau acara “Titang Tue Doa Sekampung” disertai “Saji Buk Idang” yang dilaksanakan di kampung-kampung yang terletak di Pesisir Utara Pulau Bangka, khususnya di 5 kampung yaitu Kampung Pesaren Pantai, Kampung Bukit Beting, Kampung Bintet, Kampung Lepang, dan Kampung Sungai Pasir.
Upacara-upacara adat dan tradisi tersebut dilakukan dalam rangka menyambut dan memeriahkan Nisfu Syakban, kedatangan Bulan Suci Ramadhan dan atau menyambut pergantian musim, atau untuk menghadapi pergantian tahapan-tahapan kritis (critical rate) dalam kehidupan untuk menjaga keselamatan masyarakat di kampung dan kesuksesan dalam kehidupan (“mata pencaharian dan mata gawe”) pada tahun berikutnya. Wilayah kehidupan jasmaniah dan wilayah kehidupan rohaniah pada masyarakat Bangka bersatu dalam ritus yang natural dan supranatural. Fungsi upacara ini adalah selain untuk memperkuat keyakinan masyarakat terhadap sistem religinya (sistem kepercayaannya), juga memperkuat sistem dan nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu kegiatan dalam sistem religi seperti tradisi ruahan, penimbongan, titang tue dan doa dan mantra bersama yang sifatnya supranatural harus dikaitkan dengan sistem pengetahuan budaya masyarakat, terutama dalam hal ini sistem kosmologi pada suatu masyarakat. Pemerintah Hindia Belandapun menyadari, bahwa Perayaan Ruwahan di Bulan Syakban sebagai Hari Raya bagi masyarakat Bangka dan untuk Idul Fitri disebut dengan Hari Raya Lebaran Puasa.
Memasuki awal Ramadhan dan sebagai penanda untuk memulai Ibadah Puasa, masyarakat Bangka pada masa lalu mengetahuinya dari bunyi Beduk yang dipukul di Langgar/Surau atau Masjid. Perbedaan penentuan awal pelaksanaan puasa pada bulan Ramadhan dan penentuan Hari Lebaran telah terjadi sejak zaman Hindia Belanda. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan perhitungan Tahun Hijriyah dengan Tahun Masehi. Perselisihan mengenai tanggal dimulainya puasa umat Islam bermula dari kenyataan, bahwa awal Puasa diumumkan melalui beduk di rumah ibadah (langgar/surau dan masjid) setelah bulan sabit pertama Ramadhan diamati dengan mata manusia, hal ini dapat mengakibatkan selisih satu hari atau lebih bila langit tidak selalu cerah. Untuk menghindari kegaduhan di masyarakat karena perbedaan penentuan hari awal puasa dan lebaran puasa, maka Pemerintah Hindia Belanda, memutuskan lebaran-puasa akan berlangsung selama Dua hari. Dengan dimulainya puasa, maka tidak ada keraguan lagi, bahwa Lebaran Puasa akan berlangsung tepat 30 hari kemudian. Penjelasan terkait hal di atas selengkapnya dapat dibaca pada Koran Belanda De Indische courant, tanggal 25 Februari 1931, yang menjelaskan Lebaran puasa pada Tanggal 20 Februari Tahun 1931, selengkapnya: Zoodra de nieuwe maan der negende Moslimsche maand- Ramadhan-aan het hemelgewelf zichtbaar is, vangt de poeasa-vasten aan en duurt de geheele maand van zonsopgang tot-onder-gang.Telken jare is over het begin en het eind der vasten verschil van meening, waardoor langzamerhand het gebruik is ontstaan om twee dagen voor de viering van de lebaran-poeasa te reserveeren. Volgens onzen kalender, valt de lebaran-poeasa op den 20sten Februari 1931; maksudnya kira kira: Begitu bulan baru bulan kesembilan umat Islam-Ramadhan-terlihat di langit, Puasa dimulai dan berlangsung sepanjang bulan dari matahari terbit hingga terbenam. Setiap tahun terjadi perbedaan pendapat tentang awal dan akhir puasa, yang lambat laun memunculkan kebiasaan menyisihkan dua hari untuk perayaan Lebaran Puasa. Menurut kalender kita, lebaran-puasa jatuh pada tanggal 20 Februari 1931; selanjutnya dijelaskan di Koran tersebut: indien men de Mohammedaansche jaartelling omrekent in de Gregoriaansche, dan zou dit feest op 19 Februari vallen. Om alle geharrewar te voorkomen, bepaalde de overhead, dat de lebaran-poeasa twee dagen zou duren. De strijdvraag over den datum, waarop de Moslimsche vasten begint, vindt haar oorsprong hierin, dat de poeasa in de bedehulzen door middle van de bedoek eerst wordt afgekondigd, nadat de eerste maansikkel in Ramadhan met het menschelijk oog is waargenomen ; daardoor kan een verschil van één of meer dagen ontstaan ; de lucht is niet altijd even helder. Als de poeasa is ingeluid, dan bestaat’t geen twijfel meer, of precies 30 dagen daarna heft de lebaran-poeasa plaats. Maksudnya: jika kalender Muhammad diubah menjadi kalender Masehi, maka awal lebaran ini akan jatuh pada tanggal 19 Februari. Untuk menghindari kegaduhan, pemerintah memutuskan lebaran-puasa akan berlangsung selama Dua hari. Perselisihan mengenai tanggal dimulainya puasa umat Islam bermula dari fakta, bahwa puasa hanya diumumkan setelah bulan sabit pertama di bulan Ramadhan diamati dengan mata manusia; hal ini dapat mengakibatkan selisih satu hari atau lebih; langit tidak selalu cerah. Dengan dimulainya Puasa, maka tidak ada keraguan lagi bahwa Lebaran Puasa akan berlangsung tepat 30 hari kemudian. Selanjutnya harian De Indische courant juga menyebutkan asal dari istilah “Lebaran” pada perayaan yang menutup puasa sebulan penuh. Lebaran pasti merupakan serapan dari kata Arab albarian, yang memiliki arti "sarapan". Setelah berpantang dari segala makanan di siang hari selama sebulan, tidak hanya dari segala kenikmatan makanan dan minuman, tetapi juga dari merokok, menggunakan wewangian, singkatnya dari segala sesuatu yang dapat memberikan kesegaran atau keringanan. Pada Tanggal 1 Syawal, orang beriman dapat menjalani hidup kembali dan memeluk istrinya lagi. Selengkapnya dalam Koran dinyatakan: Lebaran moet de versoendaniseering zijn van het Arabische word : albarian, waaraan de beteekenis van ,,ontbijt” wordt toegekend. Na zich gedurende een maand des daags van elle voedsel te hebben onthouden, niet allen van alle genot van spijs en drank, maar ook van het rooken van tabak, het gebruik van parfumerieën, in één word van alles wat eenige verfrissching of verlichting zou kunnen schenken, mag de geloovige op I Sjawwal het leven weder uitleven en zijn echtgenote opnieuw omhelzen.
Pemerintah Hindia Belanda memang kurang memperhatikan atau hampir tidak peduli pada kehidupan beragama bagi masyarakat di negeri jajahan. Kestabilan politik, keamanan dan ketentraman di masyarakat sangatlah dijaga. Untuk menghindari kegaduhan di masyarakat, maka diambillah kebijakan untuk penetapan hari libur bagi hari lebaran puasa selama 2 hari, sehingga bila perhitungan hari awal puasa dan lebaran puasa menggunakan kalender Hijriah (disebutnya kalender Muhammad), maupun menggunakan kalender Masehi atau (disebutnya kalender Gregoriaansche), puasa akan tetap kena 30 hari karena peringatan hari rayanya ditetapkan 2 hari (bijaksanakah?).***