Oleh Kristia Ningsih
Penulis Lepas Bangka Belitung
SEORANG guru TK, @mrsdepasquale dari Florida menunjukkan prosesnya menghiasi ruang kelasnya (23/1/2025). Kelas itu hendak dibuat tampak seperti di dalam pesawat. Pada video lainnya, terlihat anak-anak sedang check-in pada meja pendaftaran, sekaligus diperiksa barang bawaannya serta tiket dan paspor tiruan.
Ada dua orang dengan seragam pramugari di depan ruang kelas untuk menunjukkan kursi masing-masing ‘penumpang’. Rupa-rupanya, itu hanya hasil akhir. Ada pertemuan sebelumnya, anak-anak diajarkan mengisi formulir visa (13/1/2025).
Tiba-tiba saya terhenyak, alangkah jauh tertinggalnya cara berpikir saya. Jika hanya soal mengundang pramugari, di negeri kita, guru sudah terbiasa mengundang praktisi atau ahli ke kelas. Terutama setelah adanya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau P5.
Namun, mengenalkan secara nyata sebuah proses panjang nan penting sebelum naik pesawat pada anak-anak bagi saya sungguh luar biasa.
Pertama, mereka respek terhadap anak-anak. Maksudnya, mereka tidak memandang anak-anak yang sedang serba penasaran itu dengan ‘ah cuma anak-anak’. Justru menjadikan momen pertumbuhan emas pada otak itu untuk menunjukkan dunia nyata yang sebenarnya.
Kedua, mengajarkan anak melek administrasi. Mungkin ini ‘mudah’ di sana, tetapi bila kita meniru mengajarkan ini untuk anak dini tentu sangat menantang. Mengapa? Pasalnya, negeri kita, orang-orang dewasa pun enggan dengan administrasi jika bukan terpaksa. Banyak yang menyebut, ‘birokrasi itu ribet’.
Namun, bayangkan jika itu benar-benar kita ajarkan pada anak-anak. Paling tidak, anak-anak bisa menjadi generasi yang tak mudah ditipu, dan tahu aturan plus melek administrasi. Bayangkan, sejak dini, anak-anak paham bahwa setiap penduduk harus memiliki kartu identitas bernama KTP. Mereka pun memiliki identitas, KIA atau kartu identitas anak.
Kembali pada kisah simulasi naik pesawat di atas, sang guru tidak hanya mengajarkan, tetapi juga memastikan pemahaman. Anak-anak itu diwawancara oleh gurunya, “Kira-kira menurutmu, pengajuan visa untuk ke Cina milikmu akan dikabulkan tidak ya?” Sang anak menjawab polos, “Ya, pasti diterima kok. Mamaku sudah telepon Cina.” Terlihat jelas anak ini paham konteks bahwa sebelum bepergian ke luar sebuah negara, dibutuhkan visa.
Terbiasa menganggap anak-anak ‘tak perlu diajarkan urusan dewasa’ adalah keliru. Anak-anak memiliki potensi. Tentu saja ini selama sang guru merasa riang di kelas. Tujuan pembelajaran pun memakan berulang kali pertemuan panjang. Namun, bukankah lebih baik anak paham sesuatu secara tuntas ketimbang banyak tapi sepotong-sepotong pemahaman saja.
Sungguh, ini bukan tentang kritik untuk guru TK. Hanya, sebagai seorang ibu saja, saya kurang menstimulasikan anak secara menyeluruh. Misalnya, ketika ia melihat dan memegang bunga dan putik bunga. Ia memperhatikan warnanya yang cantik. Lantas seperti penasaran mengapa yang satu mekar dan mengapa yang lainnya masih kuncup.
Pada kesempatan lain, ia pun beberapa kali mengajak ingin menanam bunga bersama seperti Upin-Ipin dan Kak Ros. Jika seorang ibu cukup terampil, semestinya ia tahu momen seperti itulah yang tepat untuk penjelasan utuh. Misalnya mengenalkan nama bunga, jumlah kelopak, fungsi, hingga cara menanamnya bila perlu.
Pada usia emasnya, kita tak perlu khawatir apakah itu terlalu berat untuknya. Labih-lebih jika ia punya ketertarikan, bukan karena paksaan jadwal materi sesuai kurikulum. Orang tua hanya perlu menyusun kalimat sesuai pemahaman anak-anak.
Di sisi lain, jika terlampau mengagumi hal yang tidak biasa di negeri kita, lantas langsung caplok sebagai kurikulum kita, ini pun akan beresiko. Potensi lokal sesuai karakter diri anak justru kehilangan arah. Beberapa kali di media sosial, kualitas pendidikan anak-anak kita dikritik. Misalnya, ada yang menyebut sampai-samapi ijazah SMA kita tak diakui dan harus diambil ujian kesetaraan jika ingin sekolah di luar negeri.
Katanya, itulah akibat dihapusnya Ujian Nasional. Momen itu menurut orang-orang membentuk generasi sungguh-sungguh dalam belajar. Ketika disebut akan tidak lulus 12 tahun sekolah jika nilai tak sampai standar minimal 4,25 misalnya, anak-anak mengurangi main-main dan belajar total. Ketika kelulusan ditentukan sekolah, lebih-lebih ujian hanya dilakukan siswa acak tanpa tuntutan standar nilai, jatuhlah kualitas mental belajar mayoritas anak-anak.
Terkait fakta keminiman negaranya, Thailand serius malu dan bertransformasi. Setidaknya, literasi Thailand terlihat jelas dengan menjadikan ramah teks seperti pengalaman pustakawanmendunia.org. Menurutnya, masih ditemukan koran di sepanjang jalan di kota besar Thailand. Ya, di negeri kita, koran telah seperti benda asing.
Ada pula Australia yang mengevaluasi diri mereka (Aljazeera, 24/12/2024). Mereka berniat menjaga remaja dan anak di bawah 16 dari rendah diri ekstrim akibat terlalu membandingkan diri dengan standar media sosial.
Ada pula Swedia yang beralih kembali pada buku teks (VOA, 26/9/2023). Hal ini dilatarbelakangi jatuhnya literasi Swedia 2016-2021. Menurut mereka buku fisik lebih dibutuhkan di ‘situasi’ tersebut daripada yang serba digital.
Fakta di mana pun, media internet lebih kecil dimanfaatkan untuk belajar. Nuansa media sosial remaja negeri kita dirangkum oleh @fakboiberkelas. Ia menghadirkan konten para anak muda yang tidak bermanfaat dan mengomentarinya. Dari kacamatanya, kita jadi tahu, anak muda kita berbicang tentang tips berbagi cara berselingkuh, hingga bangga dengan istilah bodycount alias berapa kali hubungan intim tanpa pernikahan.
Yang saya temukan juga termasuk menyedihkan. Konten yang terlihat positif, tetapi sebenarnya menyesatkan. Misalnya tips menyelesaikan tugas esai dalam lima menit sebelum tenggat waktu. Sekian aplikasi kecerdasan buatan untuk membuat ide dan menulis. Lalu, langkah membuat esai itu dengan AI yang bisa membuat tulisan seperti gaya manusia.
Lalu, gunakan aplikasi untuk menghilangkan deteksi bahwa itu dikerjakan AI. “Selesai deh!” katanya. Cerdas memanfaatkan internet, tetapi sayangnya tidak punya kekritisan dan pendirian hasil berpikir sendiri. Tentu berbeda, karakter anak yang tugasnya ‘dibuat Ai’ dibandingkan dengan ‘dibantu AI’.
Singkat dari cerita singkat, inilah fakta di lapangan dalam dan luar begeri. Bukan untuk memberangus karakterisasi positif kita. Namun, kita perlu pula untuk tidak ngotot dengan yang jelas perlu diperbaiki. Kita perlu mengekstraksi usaha memajukan pendidikan kita dengan langkah praktis, menyeluruh.
Sehingga ketika ditanya, “Apa usaha Indonesia memperbaiki pendidikannya?” Kita dapat menjawab dengan satu kalimat singkat nan konsisten, sesederhana: “Kembali pada buku Teks”, atau “Menggalakkan koran dan buku,” atau “Melarang media sosial untuk anak dan remaja.” Terkadang, kita perlu menyederhanakan sesuatu tetapi menggiatkannya lebih dari apapun.***
Kategori :