Malapetaka Perhitungan 300 Triliun Kerugian Lingkungan Tata Kelola Pertambangan Timah

Rabu 15 Jan 2025 - 20:46 WIB
Oleh: Admin

Terhadap pemulihan lingkungan seperti reklamasi-pun haruslah bersesuaian dengan nilai potensial pasca tambang, jangan kemudian lahan yang habis ditambang itu harus dikembalikan seperti semula sebelum dilakukannya pertambangan karena biayanya akan sangat mahal. Bukankah suatu lahan tambang kita gali untuk mendapatkan keuntungan ekonomis? Jika kemudian “besar pasak daripada tiang” untuk apa kita menambang jika akan rugi. 

 

Perhitungan seperti reklamasi ini harusnya tidak dipukul menyentuh nilai ambang atas kerugiannya. Lagipula sebelum melakukan proses penambangan sudah diwajibkan untuk menyertakan mine plan (rencana penambangan) dalam setiap perizinan pertambangan seperti izin eksplorasi dan izin produksi. 

 

Sudah harus ada studi kelayakan terhadap proses pertambangan ke depannya mulai dari perkiraan volume biji timah, teknis pertambangan, infrastruktur penunjang pertambangan, area buang, bahkan sampai reklamasi dengan menanam tumbuhan di lahan pasca tambang sebagai bentuk re-vegetasi. Semuanya haruslah terukur secara ekonomis dan bermanfaat bagi lingkungan sosial dengan memetakan kebutuhan masyarakat yang terdampak pasca tambang. 

 

Tanggung jawab kerusakan lingkungan ini pula termasuk beban pemerintah selaku pemberi izin, bukan berarti pemerintah adalah pihak yang dapat lepas tangan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan semacam ini. Jika ada aparatur sipil negara yang melancarkan proses perizinan dengan menerima gratifikasi, maka itulah yang harus dikejar penegakkan hukumnya bersama-sama dengan pihak swasta yang pemberi suap.  

 

Terkadang dengan berfokus pada unsur perbuatannya saja sudah cukup untuk menghukum pelaku pidana tanpa perlu untuk membesar-besarkan nominal yang validasi data perhitungannya masih diragukan. Terbukti dengan diputusnya beberapa terpidana seperti Harvey Muis dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan berikut dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 210 miliar subsider 6 bulan kurungan. 

 

Kemudian diputusnya Thamron alias Aon selama 8 tahun penjara berikut uang pengganti Rp 3,5 triliun menimbulkan rasa tidak puas publik terhadap vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Hal ini karena adanya bias perhitungan kerugian kerusakan lingkungan yang bernilai fantastis sehingga ekspektasi masyarakat terhadap hukuman pelaku sangat tinggi.**

 

Tags :
Kategori :

Terkait