Oleh: Rusi Sartono, S.IP
Wakil Ketua DPRD Bangka Selatan
Hari Guru adalah momen penting untuk menghormati dan mengapresiasi peran guru sebagai pilar utama dalam membangun generasi yang berpengetahuan, berkarakter, dan berdaya saing. Dalam konteks Indonesia, guru tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang berkontribusi pada pembangunan bangsa.
Namun, di balik penghargaan dan seremonial yang berlangsung setiap tanggal 25 November, realitas yang dihadapi guru di lapangan sering kali jauh dari ideal. Hal ini mengundang refleksi kritis terhadap berbagai persoalan mendasar yang masih membayangi dunia pendidikan di Indonesia.
Peran guru sebagai pendidik idealnya didukung oleh kondisi kerja yang layak, pelatihan yang memadai, dan sistem pendidikan yang berpihak pada peningkatan kualitas pembelajaran. Namun, fakta menunjukkan bahwa masih banyak guru, terutama di daerah terpencil, yang menghadapi tantangan besar, mulai dari fasilitas yang minim, gaji yang tidak memadai, hingga akses terbatas terhadap pelatihan profesional. Kesenjangan ini mencerminkan inkonsistensi antara penghargaan normatif terhadap profesi guru dan implementasi kebijakan yang seharusnya mendukung mereka secara menyeluruh.
Salah satu persoalan utama yang kerap disoroti adalah kesejahteraan guru. Meskipun pemerintah telah berupaya meningkatkan penghasilan melalui sertifikasi profesi, implementasi program ini masih menghadapi berbagai kendala. Guru honorer, yang jumlahnya signifikan, sering kali tidak mendapatkan manfaat dari kebijakan ini. Mereka harus bertahan dengan penghasilan yang jauh di bawah standar layak, meskipun beban kerja mereka sering kali setara dengan guru berstatus pegawai negeri. Ketimpangan ini menunjukkan adanya diskriminasi struktural yang harus segera diatasi untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil.
Di sisi lain, kualitas pendidikan guru juga menjadi isu yang tidak kalah penting. Pendidikan prajabatan yang diharapkan mampu mencetak guru-guru berkualitas sering kali tidak relevan dengan kebutuhan di lapangan. Kurikulum pendidikan guru cenderung teoritis dan kurang memberikan pengalaman praktis yang mendalam.
Selain itu, pelatihan dalam jabatan yang seharusnya menjadi wadah untuk meningkatkan kompetensi guru sering kali bersifat formalitas tanpa memberikan dampak signifikan terhadap kualitas pembelajaran. Dalam situasi ini, sulit untuk mengharapkan guru dapat memberikan pengajaran yang inovatif dan relevan dengan perkembangan zaman.
Masalah lainnya adalah tekanan administratif yang berlebihan. Guru sering kali dihadapkan pada beban administrasi yang memakan waktu dan energi, sehingga mengurangi fokus mereka pada tugas utama, yaitu mengajar. Tuntutan untuk memenuhi target administratif, seperti pelaporan kurikulum, penilaian, dan dokumentasi lainnya, menjadi beban tambahan yang tidak selalu relevan dengan upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Fenomena ini mencerminkan birokratisasi pendidikan yang berlebihan, yang justru merugikan guru dan siswa.