Orang tua memiliki ekspektasi bahwa sekolah akan menyediakan kualitas pendidikan yang optimal bagi anak-anak mereka, dan dalam prosesnya, mereka merasa berhak untuk menuntut dan mengkritisi guru. Namun, ketika tuntutan tersebut berlebihan dan tidak didasarkan pada evaluasi yang obyektif, mereka secara tidak langsung mendiskriminasi guru dengan membatasi ruang gerak dan kreativitas mereka dalam mengajar. Pada titik ini, laporan orang tua dapat menjadi instrumen kekuasaan yang merugikan posisi guru dan melemahkan otoritas mereka di dalam kelas.
Ketika laporan-laporan ini berujung pada tindakan manajemen sekolah yang cenderung memihak kepada orang tua, tanpa menyelidiki atau memverifikasi kebenaran informasi, maka guru berada dalam posisi rentan. Mereka mungkin merasa bahwa setiap tindakan atau kebijakan pengajaran mereka harus selalu berhati-hati agar tidak memicu laporan dari orang tua. Kondisi ini dapat mengakibatkan "self-censorship" atau pengekangan diri, di mana guru menjadi terlalu takut untuk mengambil keputusan atau menerapkan strategi pengajaran tertentu.
Akibatnya, kreativitas dan otonomi guru dalam proses belajar mengajar mengalami pengikisan yang cukup signifikan. Guru, yang sejatinya adalah agen utama dalam pendidikan, menjadi kehilangan kendali terhadap proses pembelajaran karena kekhawatiran akan kritik atau laporan yang dapat membahayakan posisi mereka.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah implikasi psikologis dari diskriminasi ini terhadap guru. Ketika seorang guru secara berulang kali mendapat laporan dari orang tua, meskipun belum tentu laporan tersebut benar atau adil, hal ini dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis mereka.
Ketidakadilan yang dirasakan dapat memicu perasaan stres, frustrasi, dan bahkan rendah diri, yang pada gilirannya akan memengaruhi performa kerja mereka. Guru yang merasa tidak didukung dan dihargai akan mengalami penurunan motivasi untuk mengajar dan berinovasi, sehingga berpotensi mengorbankan kualitas pendidikan yang mereka berikan kepada siswa. Dalam jangka panjang, dampak ini dapat berpengaruh pada kualitas pendidikan secara keseluruhan, karena tenaga pendidik yang tertekan tidak akan mampu memberikan yang terbaik dalam tugas dan tanggung jawabnya.
Selain itu, fenomena diskriminasi melalui laporan orang tua juga menciptakan paradoks dalam pendidikan karakter siswa. Di satu sisi, pendidikan bertujuan untuk membentuk individu yang menghargai perbedaan, menghormati otoritas, dan mampu menerima kritik yang konstruktif.
Namun, ketika orang tua terbiasa melaporkan atau mengkritik guru hanya berdasarkan persepsi pribadi, mereka secara tidak langsung memberi contoh kepada anak-anak mereka bahwa otoritas guru bisa saja diabaikan atau bahkan dianggap tidak relevan. Anak-anak mungkin menangkap sinyal bahwa jika mereka tidak setuju dengan tindakan atau keputusan guru, mereka bisa mengadu kepada orang tua untuk mendapatkan dukungan. Hal ini bisa menciptakan budaya kurang menghargai di kalangan siswa terhadap otoritas guru, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan disiplin dan respek di dalam kelas.
Salah satu alasan utama yang mendasari maraknya laporan orang tua terhadap guru adalah ketidakseimbangan informasi dan komunikasi antara pihak sekolah dan orang tua. Banyak orang tua yang merasa tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai proses belajar mengajar di kelas, sehingga mereka cenderung menginterpretasikan situasi berdasarkan laporan anak-anak mereka yang, pada kenyataannya, mungkin tidak sepenuhnya objektif.