Pemimpin Gundul-Gundul Pacul

Ahmadi Sopyan-screnshoot-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

 

DALAM konteks kepemimpinan dalam bernegara, bait kedua ini menjelaskan makna lagu “Gundul-Gundul Pacul” bahwa kedudukan pemimpin berada di bawah bakul rakyat. 

----------------

SUTU pagi di kebun, saya iseng mendendangkan lagu berbahasa Jawa “Gundul-Gundul Pacul” dengan ditemani secangkir kopi. Isteri saya yang asli orang Jawa Timur, tersenyum mendengarkan suaminya asli Bangka Belitung mendendangkan lagu berbahasa Jawa.

Menyanyikan lagu di masa kecil yang kerapkali saya dendangkan ini, cukup membuat kenangan indah walau kala itu tidak paham makna dibalik syair lagunya. Lagu ini semakin enak didengar kala dinyanyikan bersama-sama. Saya suka nyanyi sama-sama, sehingga suara fals saya gak ketahuan adanya.

“Gundul-gundul pacul-cul, gembelengan. Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gembelengan. Wakul ngglimpang segane dadi sak ratan…”

Konon lagu “Gundul-Gundul Pacul” ini diciptakan pada tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya ketika mereka masih berusia remaja. Meski liriknya terdengar jenaka, namun makna lagu “Gundul-Gundul Pacul” ternyata mengajarkan kepada kita tentang nilai-nilai kepemimpinan?

Kata “Gundul” memiliki arti kepala plonthos tanpa rambut alias botak. Kepala adalah lambang kehormatan, atau kemuliaan seseorang. Sedangkan rambut biasa disimbolkan sebagai mahkota lambang keindahan kepala. Jadi, ‘gundul’ dalam lagu ini memiliki arti kehormatan tanpa mahkota.

“Pacul” (cangkul), merupakan alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul adalah lambang dari kaum rendah, yang kebanyakan petani. “Gundul pacul” artinya seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pemimpin itu adalah amanah, bukan diturunkan kepada anak atau family agar terus menguasai.

Ini memang lagu anak-anak, tapi memiliki arti filosofis yang begitu dalam dan mulia

yang berisi peringatan untuk para pemimpin negara agar mereka tidak boleh sembrono dan seenaknya sendiri dalam menjalankan amanah yang telah diberikan kepadanya, apalagi mengangkangi konstitusi, aturan, UU dan etika. Sebab pemimpin yang sembrono dalam menjalankan kekuasaannya hanya akan membuat seluruh tatanan dan aturan masyarakat menjadi rusak dan menyebabkan kondisi negara menjadi sulit, bahkan sampai tak terkendali. Ketika sebuah negara tak terkenadali (auto pilot), maka akan ada yang mencari celah keuntungan dibaliknya.

“Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gembelengan”. Dalam bait kedua ini terdapat kata “nyunggi wakul”. Kata tersebut memiliki arti membawa bakul nasi di atas kepala. Bakul sendiri merupakan simbol dari kesejahteraan rakyat. Dalam konteks negara, di dalam bakul tersimpan kekayaan negara, sumber daya alam, pajak, dan sebagainya. Oleh karena itu, kata “nyunggi wakul” dapat dimaknai bahwa kepala yang merupakan kehormatan berada di bawah bakul yang dimaknai sebagai kesejahteraan rakyat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan