PERUNDINGAN DIAKHIR RAMADHAN

Akhmad Elvian-dok-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

PASUKAN militer Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menyelesaikan berbagai konflik dan perlawanan rakyat pada kerajaan kerajaan tradisional di Nusantara sekitar Abad 18 dan 19 Masehi, di samping ditempuh melalui kekuatan militer bersenjata juga dilakukan dengan siasat melalui perundingan atau diplomasi. 

----------

PERUNDINGAN yang dilakukan oleh pasukan Belanda umumnya dilakukan pada penghujung bulan puasa Ramadhan. Pangeran Diponegoro misalnya, pada tanggal 21 Februari 1830 atau Empat hari menjelang bulan puasa yaitu pada hari Ahad, Tanggal 27 Syakban 1245 Hijriah, tiba di Menoreh, Bagelen (kini masuk wilayah Purworejo) untuk mengadakan perundingan dengan perwakilan Gubernur Jenderal sekaligus pejabat militer Belanda, Hendrik Markus Baron De Kock. Berhubung De Kock masih berada di ibukota Batavia, Pangeran Diponegoro dan pasukannya kemudian bergerak menuju Magelang, tepatnya di Matesih, dekat Kali Progo, Pada 8 Maret 1830 atau bertepatan dengan Tanggal 13 Ramadhan 1245 Hijriah. Pada hari Ahad, Tanggal 28 Maret 1830 atau bertepatan dengan Tanggal 3 Syawal 1245 Hijriah ketika sedang melakukan perundingan di Magelang, Diponegoro ditangkap.  

Sejarawan Peter Carey yang menulis sejarah Diponegoro dalam bukunya Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) menyebut peristiwa itu dengan: "Bulan Puasa yang Tak Biasa". Panggeran Diponegoro ditangkap dengan licik antara lain oleh pasukan yang dipimpin oleh Louis Du Perron yang pernah berpengalaman menjadi pimpinan pasukan infanteri Legiun Mangkunegaran ketika berperang melawan rakyat Bangka dalam perang yang dipimpin oleh Depati Bahrin (Tahun 1820-1828 M), waktu itu Louis Du Perron masih berpangkat Kapten. Letnan Kolonel Aukes dalam bukunya Het Legioen Van Mangkoe Nagara mencatat, bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Van der Capellen pada tanggal 28 Maret 1820 Masehi mengeluarkan besluit Nomor 10 yang memerintahkan pengiriman Detasemen Kaveleri Legiun Mangkunegaran ke Pulau Bangka. 

Dalam laporan tanggal 10 Mei 1820, De Kock menjelaskan disiapkan kapal Minerva untuk mengangkut kontingen Legiun Mangkunegaran dari Semarang-Bangka (Mentok). De Kock memberikan rincian personalia kontingen Legiun Mangkunegaran yang dikirim yakni seorang Letnan Dua bangsa Eropa dari Batalyon Infanteri ke-22 sebagai penanggung jawab administrasi, seorang Ritmeester (Kapten Kavaleri), seorang Letnan Satu dan seorang Letnan Dua, seorang Kapten Ajudan, 63 bintara dan tamtama. Mereka dibekali 54 buah pedang kavaleri, 62 pucuk pistol, dan 310 kotak amunisi, 62 setel jaket militer dan celana. Sedangkan kontingen infanteri dari Batalyon ke-21 terdiri atas seorang Kapten, seorang Letnan Satu dan tiga Letnan Dua, seorang Sersan Mayor, empat Sersan Eropa, delapan Kopral Eropa, seorang Letnan Dua Bumiputera, 131 bintara dan tamtama Bumiputera. Keseluruhan ada 151 personel infanteri (Santosa, 2011:136-137). 

Pada Tahun 1828 Masehi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengutus seseorang jururunding bernama Launy untuk melakukan perundingan dengan Depati Bahrin dan Pemerintah Hindia Belanda berjanji memberikan kompensasi gaji atau tunjangan sebesar 600 gulden setahun kepada Depati Bahrin apabila menghentikan perlawanan kepada Pemerintah Belanda. Belanda menawarkan perundingan kepada Bahrin karena ingin lebih berkonsentrasi menghadapi Perang Diponegoro di Pulau Jawa Tahun 1825-1830 M (Elvian, 2006:13).  Dengan menggunakan hak exorbitante rechten yaitu hak Pemerintah Belanda untuk menindak setiap orang yang menghalangi upaya penjajahan, termasuk  hak  untuk mengasingkan  atau membuang para  pemimpin  perlawanan ke  daerah-daerah lain di wilayah jajahan Kerajaan Belanda dan ke wilayah lain di Hindia Belanda. Pangeran Diponegoro kemudian dibawa ke Batavia (dipenjara di Stadhuis, sekarang Kota Tua Jakarta), kemudian diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara, dan kemudian dipenjara di Fort Rotterdam Makasar dan kemudian meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan pada Tanggal 8 Januari 1855.       

Pemerintah Hindia Belanda juga berupaya untuk menyelesaikan perang di Pulau Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir (Tahun 1848-1851 M) dengan kekuatan militer dan menetapkan status Staat van Beleg (Keadaan Darurat Militer) bagi Pulau Bangka (Pada tanggal 17 September 1850, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Besluit 17 September 1850 Nomor 1 memutuskan, bahwa untuk menyelesaikan perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dilakukan dengan kekuatan militer melalui operasi militer). Pemerintah Hindia Belanda juga berupaya mengatasi masalah Perang Depati Amir dengan perundingan (Perang di Bangka mendapat perhatian serius dari Gubernur Jenderal di Batavia karena penghasilan negara dari tambang Timah berkurang dan hampir 250 tambang Timah milik Hindia Belanda berhenti beroperasi serta sekitar 5000 pekerja tambang menganggur). Perundingan dilaksanakan dipenghujung bulan puasa atau pada bulan suci Ramadhan. Perundingan dilaksanakan pada hari Ahad, tanggal 4 Agustus 1850 bertepatan dengan Tanggal 25 Ramadhan 1266 Hijriah. Depati Amir beserta dengan sekitar 300 orang pengikutnya turun dari markas di gunung Maras untuk berunding dengan Lettu Dekker komandan militer Belanda di kampung Layang. Akan tetapi pertemuan dan perundingan tersebut menemui kegagalan serta tanpa hasil yang jelas karena pasukan Belanda yang dipimpin Lettu Dekker ingin menjadikan perundingan ini sebagai siasat dan upaya untuk menangkap Depati Amir. Pertemuan itu terjadi, dalam kapasitas Dekker sebagai wakil pemerintah. Kelihatannya, Amir takut, dan nampak tidak percaya lagi dengan komisaris maupun pemerintah Hindia Belanda di Bangka. Amir tidak mau perundingan dilakukan di markas militer Belanda, hal ini dikarenakan karena pasukan Belanda sudah Dua kali melakukan upaya penyerangan dan penangkapan terhadap Amir akan tetapi mengalami kegagalan. Dalam Surat dari Inspektur Pajak yang ditugaskan di Pulau Bangka, Tanggal 8 Agustus 1850, Nomor La. J Geheim ( Bt, Geheim, 17-9-1850), Nomor 1).hal.2 dinyatakan bahwa: “Amir lebih suka lehernya dipenggal daripada harus pergi berunding ke kompleks militer Belanda”

Terkait perundingan antara Amir dengan komandan detasemen militer Layang, Lettu Dekker dapat diketahui secara lebih jelas dari surat Inspektur Pengawasan Zending di pulau Bangka kepada Gubernur Jenderal, Layang tertanggal 16-8-1850 no. La R (Rahasia) (ANRI geh. Bt 17-91850 nomor 1). Melanjutkan laporan saya tanggal 3 September 1850 nomor La R (rahasia), saya kabarkan kepada anda yang terhormat, bahwa saya pada petang ini tanggal 4 September 1850, mendapat pemberitahuan dari komandan detasemen Letnan Dekker, bahwa Letnan Dekker telah bertemu dengan Amir dan Amir mohon pada saya untuk datang ke Layang, Amir akan melakukan perundingan kepada pemerintah tapi tidak ada tempat lain, Ia hanya berani datang ke Layang. 

Sepucuk surat datang dari mayor Cina menunjukkan kepada saya dan seorang duta, bahwa surat memberitahukan kepada saya nampaknya Amir sepanjang waktu memang di Blinju tapi sekarang ia masih takut untuk mengulangi datang ke Pangkalpinang, Ia masih sangat yakin, ia curiga dan takut luar biasa. Di sisi lain saya mendapat sepucuk surat dari Letnan Dekker kepada saya sekali lagi, Amir mohon untuk datang kemari (Layang). Letnan Dekker memberi tahu kepada saya atas kedatangan saya itu, bahwa Amir bersedia menjelaskan, untuk itu ia akan diantar hanya dengan prajurit, mengantarkan Amir kepada saya di rumah Cina yang akan saya datangi, prajurit Amir sekitar 300 orang diperkuat dengan persenjataan lengkap. Kemauannya untuk datang ke Layang, tak dapat dijelaskan, sedang kekuatan tentara di Layang ada 35 Serdadu, ada 3 Serdadu Eropa, beberapa sakit demam, sementara itu tangsi di Layang terdiri dari tempat yang kecil, sedang Amir yang ada di sekitar wilayah itu dengan pengikutnya sekitar 300 orang jumlahnya 40 orang bersenjata, 160 dilengkapi senapam siap pakai.

Letnan Dekker Komandan Detasemen di Layang, mulai mengadakan pertemuan dengan Amir, pembicaraan dilakukan dengan baik dan menyenangkan. Opsir itu telah beberapa hari yang lalu, pergi ke Amir tanpa bersenjata, di suatu rumah di kampung Layang, ditunggu 5 tentara bersenapan sangat bagus, Amir telah menunggu kedatangan Letnan Dekker, alasan sederhana saya akan datang ke Layang karena Amir hanya berani muncul di Layang, dan Ia percaya kepada Letnan Dekker, dan opsir itu telah biarkan kampung itu kosong, lainnya telah dibakar, Amir jelaskan kepada tuan Dekker, bahwa dirinya tak pernah akan biarkan dirinya bersedih, karena itu Ia kirim hadiah ayam dan durian dengan tempat pengambilan pada jarak jauh, ia coba menunjukkan persahabatan tak lama kemudian setelah kedatangan saya di Layang, tuan Dekker diterima seperti itu setelah mendapat hadiah dari Amir. Oleh satu dan lain hal saya atur pertemuan dengan Amir, sehubungan dengan jawabannya, perundingan menuju penyelesaian dinilai gagal, juga sama seperti mediasi yang juga telah dilakukan Mayor Cina yang pertama juga gagal.*** 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan