Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Bahasa Melayu Bangka Belitung: Hilang di Lidah, Bukan di Kamus

Valery Muhammad Gibran-Dok Pribadi-

 

Valery Muhammad Gibran

 

Ada suatu kenyataan pahit yang tidak kita sadari tapi ia datang merayap pelan-pelan dan menggerogoti identitas kolektif masyarakat Bangka Belitung. Coba saja datang ke ruang publik, seperti kolam renang, restoran, atau kafe, pasti ada saja beberapa anak hingga remaja yang mulai berbicara bahasa Indonesia baku. 

 

Kenyataan ini seolah sedang kita “kunyah” pelan-pelan, mirip makan kemplang keras tanpa dicelup kuah cuko, yakni anak-anak dan remaja Bangka Belitung makin jarang bisa berbahasa Melayu Bangka Belitung (MBB). Hal ini bukan karena bahasanya yang susah, bukan juga karena bahasanya kasar dan tak indah. Namun, karena dua mesin besar peradaban yang seolah bekerja tanpa rem, yaitu kurangnya transmisi antargenerasi dan pendidikan formal yang hampir tak memberi ruang pada bahasa MBB.

 

Hasilnya, bahasa kita mulai disunat fungsinya sampai tinggal kulitnya saja, hanya menjadi hiasan di sosial media, atau hanya sebatas kelakar seksisme di warung kopi tradisional.

 

Secara teoritis, bahasa daerah hanya mampu bertahan jika diturunkan dari orang tua ke anaknya. Namun di Babel, banyak keluarga modern seperti berubah menjadi pusat pelatihan bahasa Indonesia baku. Sebagai contoh, anak kecil yang berbicara ape langsung ditegur menjadi “apa”. Dalam hal ini, orang tua ingin anaknya terdengar “rapi” dalam berbahasa, padahal yang hilang diam-diam adalah akar identitas linguistik.

 

Dalam beberapa literatur, fenomena ini menunjukkan apa yang disebut sebagai intergenerational language shift: orang tua menguasai bahasa MBB, tapi tidak menurunkannya. Bahasa pun berhenti di generasi ayah-ibu, dan cucu-cucu kelak kemungkinan hanya tahu kata “dak” dalam dialog sehari-hari. Alasannya banyak, bisa karena gengsi, ketakutan anak dianggap kampungan, atau orang tua sendiri yang sudah jarang menggunakan bahasa MBB.

 

Rumah yang dulu menjadi ruang utama belajar bahasa kini berubah menjadi museum percakapan formal, tempat “bahasa daerah” terdengar hanya saat orang tua sedang marah. Itu pun biasanya hanya keluar dalam beberapa kata: “Ka jadilah, dak usah ngelawan urang tue, aok!”. Kalau bahasa hanya muncul saat orang tua sedang marah, jangan heran anak hanya akan mengasosiasikannya dengan emosi negatif, agresi, atau suara yang keras, dan bukan sebagai identitas.

 

Kurikulum muatan lokal sebenarnya dapat menjadi media internalisasi bahasa daerah, tetapi porsinya lebih mirip kerupuk di pinggiran piring nasi goreng, hanya dimakan sedikit atau malah kebanyakan tidak dimakan sama sekali. Ini adalah kenyataan bahwa saat ini banyak pendidikan formal tidak memberi ruang. Bahasa daerah hanya menjadi tamu undangan bukan pemain utama.

 

Di beberapa sekolah, bahasa MBB tidak diajarkan secara konsisten. Beberapa tidak menjadikannya medium komunikasi sehari-hari, tidak dikembangkan melalui literasi kreatif, dan jarang sekali dianggap sebagai kompetensi penting.

 

Padahal sekolah adalah lembaga sosial yang paling mampu menciptakan keistimewaan bahasa. Seandainya sekolah memberi ruang, bahasa akan hidup. Sebaliknya, ketika sekolah meminggirkan, siswa secara tak langsung akan memahami bahwa bahasa MBB tidak penting. Terutama remaja Babel yang sudah sibuk mengejar skor UTBK, tentu tidak mau membuang waktu untuk sesuatu yang dianggap tidak memberi manfaat akademis.

 

Kalaupun diajarkan, seringkali bentuknya kaku: menghafal kosakata, tanpa dialog, tanpa narasi, tanpa humor khas Melayu Bangka Belitung. Tidak heran, siswa di banyak sekolah di Bangka Belitung menjadi sulit mencintai bahasa daerahnya sendiri. Bahasa butuh ruang hidup, bukan ruang ulangan.

 

Fenomena tadi akan memberikan implikasi yang cukup serius. Pertama, adanya erosi identitas linguistik. Seperti yang diketahui, bahasa bukan sekadar alat bicara. Bahasa memuat memori kolektif, cara melihat dunia, dan media untuk memahami struktur emosi. Ketika bahasa MBB memudar, generasi muda bisa saja kehilangan pintu masuk menuju identitas wilayahnya.

 

Kedua, berimplikasi pada retaknya kohesi sosial lokal. Bahasa MBB yang selama ini sudah puluhan tahun menjadi jembatan antar etnis di Babel, ketika melemah, maka Babel akan kehilangan alat perekat sosial yang selama ini bekerja tanpa disadari.

 

Ketiga, banyak konsep laut, adat, humor, dan kosmologi yang hanya dapat diekspresikan ke dalam bahasa MBB. Apabila bahasa terkikis, memudar, hingga hilang, maka pengetahuan akan ikut lenyap karena tidak semua bisa diterjemahkan. Beberapa kata hanya hidup kalau diucapkan dengan logatnya. Coba saja terjemahkan beh ke bahasa Indonesia. Tidak bisa.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan