SUNGAILIAT ATAU SUNGAILEAT (Bagian Duabelas)
Akhmad Elvian-screnshot-
Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
SETELAH penguasaan Pasukan Sekutu dan NICA terhadap Pulau Bangka pada pertengahan Bulan Februari 1946 dan ditandai mulai meredanya konflik bersenjata antara TRI dan Pasukan Sekutu serta NICA, arah perjuangan Bangsa Indonesia kemudian ditempuh melalui diplomasi.
------------
AWAL perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan atas inisiatif Panglima Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), Letjend. Christison, atas nama tentara sekutu yang tugasnya menjamin keamanan di wilayah-wilayah bekas pendudukan Jepang. Serangkaian perundingan pendahuluan dengan inisiator dari Inggris, diplomat Archibald Clark Kerr dan kemudian dilanjutkan oleh diplomat Inggris, Lord Killearn, pada Tanggal 10 Februari 1946. Setelah beberapa kali diadakan penjajakan perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan H.J. van Mook (Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pemimpin NICA), dilaksanakanlah perundingan di Hooge Veluwe, negeri Belanda pada Tanggal 14-25 April 1946. Lord Killearn, akhirnya berhasil membawa wakil Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di kediaman Konsul Jenderal Inggris Jakarta pada Tanggal 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri, Sutan Sahrir dan pihak Belanda diwakili oleh suatu Komisi Umum yang dikirim dari Belanda dipimpin Prof. Schermerhorn. Dalam perundingan ini disetujui untuk membicarakan masalah gencatan senjata.
Jalan buntu atau kegagalan beberapa kali penjajakan perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.J. van Mook, karena Belanda hanya bersedia memberikan status sebagai salah satu anggota negara federal kepada Republik Indonesia, yaitu negara bagian di bawah pemerintahan penjajahan Belanda, dan ini tentu saja ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai negara yang secara de facto telah merdeka dan berdaulat. H.J. van Mook mencoba membentuk negara-negara federal di wilayah Republik Indonesia dengan menggandeng elit-elit politik lokal di daerah, khususnya daerah di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera termasuk di Pulau Bangka dengan memanfaatkan isu kedaerahan atau primordialisme, terbukti dari kehadiran tokoh-tokoh lokal daerah di Konferensi Federal Malino, Sulawesi Selatan.
Dalam rangka membentuk negara federasi dan upaya pembentukan negara-negara federal di wilayah negara Republik Indonesia, dilaksanakan konferensi federal pertama di Malino, Satu kota kecil di Sulawesi Selatan, pada Tanggal 15-25 Juli 1946. Konferensi Malino dihadiri oleh utusan-utusan beberapa daerah (15 daerah dan 39 orang utusan) yang diduduki Belanda dan umumnya merupakan daerah yang berada di luar Pulau Jawa dan Sumatera, meliputi daerah; Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bangka-Belitung, Riau, Sulawesi Selatan, Minahasa, Menado, Bali, Lombok, Timor, Sangihe-Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan dan Papua. Hadir pada saat Konferensi Malino di Sulawesi Selatan, utusan dari Pulau Bangka dan Belitung, adalah dr. Liem Tjae Le dan Saleh Achmad.
Dokter Liem Tjae Le adalah seorang dokter (pernah menjadi Dokter Kesehatan Kabupaten atau disingkat Dokabu Bangka) dan pernah menjadi penasehat SKB (Serikat Kaum Buruh) di Pulau Bangka. dr. Liem Tjae Le pada saat pelaksanaan Konferensi Malino diangkat menjadi salahsatu Dewan Kepala-kepala Departemen (Raad van Departementshooden) untuk urusan kenegaraan Bangka, Belitung dan Riau. Dewan ini juga disebut dengan Komisi Tujuh karena beranggotakan Tujuh orang wakil urusan kenegaraan yang berasal dari wilayah Bali, Sulawesi Selatan, Minahasa, Maluku Selatan, Bangka-Belitung-Riau, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. dr. Liem Tjae Le merupakan tokoh Tionghoa yang pernah bersekolah di Geneeskundige Hogeschool (Jakarta) dan Gemeentelijke Universiteit (Amsterdam Belanda). Pada tahun 1955, dr. Liem Tjae Le ikut dalam Pemilu dari utusan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) perwakilan dari Pulau Bangka. Baperki adalah salahsatu organisasi yang bertekad untuk mempertahankan status semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia yang berdasarkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946 adalah Warga Negara Indonesia. UU tersebut menyatakan semua orang yang lahir di Indonesia adalah WNI, kecuali secara aktif menolak kewarganegaraan Indonesia di pengadilan. dr. Liem Tjae Le juga pernah menjadi ketua Yayasan Kesehatan Candra Naya yang mengelola Rumah Sakit Sin Ming Hui pada tahun 1961 yang kemudian diubah namanya menjadi Rumah Sakit Sumber Waras
Sedangkan Saleh Achmad adalah seorang tokoh Pulau Bangka bekas anggota Shu Sangikai (DPR Jepang) yang setelah kemerdekaan, pada Tanggal 3 September 1945 menjadi wakil ketua terpilih dari Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Bangka. Di samping menjadi anggota delegasi Pulau Bangka pada Konferensi Malino, Saleh Achmad juga menjadi utusan pada Konferensi Denpasar. Sikap nasionalisme dan cinta republik ditunjukkan oleh sikap wakil atau utusan dari Bangka pada beberapa konferensi federal, khususnya Saleh Achmad, yang menyatakan bahwa, Bangka merupakan wilayah Republik Indonesia (Sitrap Nomor 13 tanggal 26 Maret 1949). Saleh Achmad kemudian diangkat menjadi kepala pemerintahan di Toboali dan kemudian menjadi Sekretaris Dewan Bangka (Bangka Raad) bersama Ketua Dewan Bangka Masyarif Datok Bendahara Lelo yang dilantik pada Tanggal 11 November 1947.
Setelah pelaksanaan konferensi Federal Pertama di Malino Sulawesi Selatan, dilaksanakan konferensi Federal Kedua di Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka. Konferensi Pangkalpinang lebih ditujukan pada pembicaraan masalah sikap golongan-golongan minoritas orang-orang Indo-Eropa, Arab, Cina, dan India, termasuk di dalamnya utusan golongan orang Belanda.. Menurut D.J, Van Wijnen (1946), disebut dengan istilah Werkelijkheidszin Der Minderheden. Konferensi dilaksanakan di Gedung Societeit (sekarang Panti Wangka Pangkalpinang). Konferensi diikuti sejumlah 80 orang peserta dari delegasi perwakilan utusan golongan-golongan minoritas. Hadir sekitar 33 orang delegasi mewakili orang Cina termasuk dr. Liem Tjae Le (meja/kursi 19) mewakili Serikat Kaum Buruh dari Bangka dan sekitar 6 orang perwakilan dari orang Arab dan selebihnya adalah orang Eropa dan orang India. Dari Golongan Belanda juga hadir pemimpin-pemimpin partai politik lama yang sudah ada sebelum dan sesudah Perang Dunia Kedua, hadir pula para pengusaha dan dari beberapa organisasi.
Konferensi Pangkalpinang, kurang disambut dengan baik oleh masyarakat Bangka dan disertai dengan ketidakjelasan sikap orang-orang Tionghoa yang tinggal di Pulau Bangka. Ketidakjelasan sikap orang-orang Tionghoa dikarenakan keseganan mereka terhadap perjuangan kaum republik. Dari sisi politis delegasi Tionghoa di Pulau Bangka tidak memberikan usulan yang berarti, mereka hanya mengusulkan tentang bantuan dan subsidi pendidikan terhadap sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang didirikan Kuo Min Tang (KMT) (Pinyin: Zhongguo Guomindang). Di dalam catatan sejarah diketahui aktifitas kaum nasionalis Cina di Pulau Bangka semakin meningkat sekitar Tahun 1920 dengan berdirinya Pusat Pendidikan Orang Dewasa (Soe Po Sia) dan berdirinya beberapa sekolah Tionghoa atau THHK. Perkembangan THHK di pulau Bangka dimulai dengan berdirinya THHK di Mentok oleh Letnan Lim A Pat pada Tahun 1906, dilanjutkan di Pangkalpinang pada Tanggal 27 Mei 1907 diketuai oleh Kapitan Lay Nam Sen, setahun kemudian pada Tanggal 18 Juni 1908 dilakukan peresmian sekolah Tionghoa di Belinyu diketuai oleh Kapitan Tjen Ton Long. Pada Tanggal 7 September 1910 dibuka lagi sekolah Tionghoa di Sungailiat diketuai oleh Bong Kap Njan, dan terakhir pada Tanggal 27 November 1912 dibuka sekolah Tionghoa di Toboali diketuai oleh Bong Kit Siong. Pada Tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda juga membuka Hollandsch-Chineesche School (HCS) di Pangkalpinang, Sungailiat dan Belinyu sebagai bagian dari Politik Etis (tanggal 17 September 1901, Ratu Belanda Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan di sidang Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi atau een eerschuld terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda). Berdasarkan catatan Residen Bangka, J.E. Eddie (memerintah di Pangkalpinang dari tanggal 17 Mei 1925 hingga 3 Mei 1928 Masehi), dalam Memorie van Overgave, Pangkalpinang, 1928, bahwa pada bulan Maret 1928 sudah terdapat sekitar 10 sekolah pemerintah Kelas Dua dan 104 volkscolen (Sekolah Dasar) untuk masyarakat pribumi di Pulau Bangka. Pada Tahun 1928 HCS di Pangkalpinang, Sungailiat dan Mentok memiliki murid kurang dari 700 orang (Heidhues; 2008:177). Khusus untuk perkembangan sekolah di wilayah Soengailiat pada Tahun 1930, berdasarkan Memorie van Overgave, Residen Hooyer, 1931, terdapat 11 sekolah dengan 49 guru dan sekolah terbesar di Sungailiat memiliki murid sebanyak 500 orang. Berdasarkan catatan Majalah Berkat Edisi Khusus II, September 1974 halaman 15, dinyatakan, bahwa Paroki Sungailiat atau misi agama Katolik, pada Tahun 1935 bersama sama dengan bruder-bruder Kongregasi Santa Maria dari Louders mulai membuka sekolah di Sinkai Tengah Sungailiat dan sekolah tersebut berkembang hingga sekarang dengan nama Sekolah Maria Goretti Sungailiat.
Delegasi Tionghoa pada Konferensi Pangkalpinang juga mengajukan usulan terhadap perbaikan pelayanan kesehatan, dan perbaikan sistem perdagangan di dalam dan luar negeri. Salah satu usulan delegasi Tionghoa juga terkait penghapusan jabatan-jabatan mayor, kapitan dan letnan, serta opsir yang masih ada di masyarakat Tionghoa. Tidak hanya karena jabatan ini telah usang dan beberapa pejabat Tionghoa ini telah bekerjasama dengan perbuatan kejam orang-orang Jepang selama pendudukan Jepang (Heidhues, 2008:200).