Rekomendasi Ombudsman Tidak Dilaksanakan, Apa Konsekuensinya?

--

Oleh Dida Rizakti Kiswara
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

OMBUDSMAN Republik Indonesia (ORI) merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan memiliki tugas utama mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Kewenangan Ombudsman ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Dalam kerangka hukum tersebut, Ombudsman diberi kewenangan untuk menerima laporan dari masyarakat terkait dugaan malaadministrasi dalam pelayanan publik, melakukan pemeriksaan terhadap laporan tersebut, dan memberikan rekomendasi kepada instansi atau pejabat publik terkait untuk melakukan perbaikan apabila ditemukan malaadministrasi.

Malaadministrasi yang dimaksud dalam konteks ini mencakup berbagai tindakan seperti penyalahgunaan wewenang, penundaan berlarut dalam pelayanan, tidak memberikan pelayanan, penyimpangan prosedur, dan bentuk-bentuk pelanggaran administratif lainnya yang merugikan masyarakat.

Setelah menerima laporan dari masyarakat terkait dugaan adanya malaadministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia akan melanjutkan proses penanganan dengan melakukan serangkaian langkah yang bersifat klarifikatif dan investigatif. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan klarifikasi terhadap pelapor guna memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai substansi aduan yang disampaikan.

Selanjutnya, Ombudsman akan mengumpulkan berbagai bukti dan informasi pendukung yang relevan dengan pokok permasalahan. Proses ini juga mencakup permintaan keterangan dari pihak terlapor, yaitu instansi pemerintah atau pejabat publik yang diduga melakukan tindakan malaadministrasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara pelayanan publik.

Apabila dari hasil penelusuran dan pemeriksaan tersebut ditemukan adanya indikasi kuat serta bukti yang cukup yang mendukung terjadinya malaadministrasi, maka Ombudsman akan menyusun sebuah dokumen resmi berupa Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP). Laporan ini memuat temuan-temuan faktual dan analisis mendalam yang menjadi dasar bagi Ombudsman dalam menyampaikan rekomendasi kepada pihak terlapor.

Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman memiliki kekuatan yang mengikat secara moral dan administratif, yang berarti bahwa instansi atau pejabat yang menerima rekomendasi tersebut memiliki kewajiban untuk menindaklanjutinya. Sepanjang tahun 2023 hingga 2024 sudah ada total 8 Rekomendasi yang telah diterbitkan oleh Ombudsman Republik Indonesia.

Rekomendasi Ombudsman menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman menjelaskan bahwa rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik.

Kemudian pada Pasal 38 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia diatur bahwa setiap instansi atau pejabat publik yang menerima rekomendasi dari Ombudsman wajib melaksanakan tindak lanjut atas rekomendasi tersebut dalam jangka waktu paling lama 60 hari sejak tanggal diterimanya rekomendasi.

Dalam pelaksanaannya, rekomendasi yang diberikan oleh Ombudsman dapat berupa perintah untuk memulihkan hak-hak masyarakat atau warga negara yang dirugikan, melakukan perbaikan sistem pelayanan publik agar lebih akuntabel dan responsif.

Juga menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada pihak yang mengalami kerugian, atau mengambil tindakan administratif lain yang dianggap perlu untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik serta mencegah terulangnya praktik malaadministrasi di masa mendatang.

Sayangnya, masih banyak pihak yang menganggap Rekomendasi Ombudsman hanyalah sebatas saran perbaikan dan tidak wajib dilaksanakan. Pengabaian terhadap rekomendasi ini dapat menimbulkan pertanyaan besar terkait efektivitas pengawasan pelayanan publik yang dilakukan oleh Ombudsman.

Padahal, keberadaan Ombudsman bertujuan untuk menjamin hak-hak masyarakat agar terlindungi dari praktik maladministrasi dan untuk menciptakan birokrasi yang transparan, akuntabel, serta responsif terhadap kebutuhan publik.

Konsekuensi dari tidak dilaksanakannya rekomendasi Ombudsman dapat dibagi menjadi beberapa aspek. Pertama, Ombudsman memiliki kewenangan untuk melaporkan ketidakpatuhan instansi atau pejabat publik kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), atau Kepala Daerah.

Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dijelaskan bahwa Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi Ombudsman dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Langkah ini ditempuh agar otoritas yang lebih tinggi dapat memberikan tekanan atau mengambil tindakan administratif terhadap instansi atau pejabat yang bersangkutan.

Kedua, rekomendasi Ombudsman dapat dijadikan dasar oleh instansi pembina kepegawaian untuk memberikan sanksi administratif terhadap pejabat yang tidak menindaklanjuti rekomendasi sesuai dengan amanat Pasal 39 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Sanksi tersebut dapat berupa teguran, penundaan kenaikan pangkat, mutasi, hingga pencopotan jabatan apabila terbukti adanya kelalaian atau pelanggaran berat. Hal ini diperkuat oleh Pasal 351 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat dapat diberikan sanksi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.

Ketiga, ketidakpatuhan terhadap rekomendasi Ombudsman juga dapat berdampak pada reputasi institusi yang bersangkutan. Ketika publik mengetahui bahwa suatu instansi mengabaikan rekomendasi Ombudsman, kepercayaan masyarakat terhadap instansi tersebut bisa menurun drastis. Dalam era keterbukaan informasi seperti saat ini, publikasi rekomendasi oleh Ombudsman menjadi bentuk transparansi yang bisa memperkuat tekanan sosial terhadap instansi yang tidak kooperatif.

Keempat, meskipun rekomendasi Ombudsman tidak memiliki kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan, laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) yang disusun oleh Ombudsman dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum. Korban maaladministrasi dapat menempuh jalur hukum lainnya dengan menjadikan hasil pemeriksaan Ombudsman sebagai referensi atau dokumen pendukung. Dengan demikian, rekomendasi Ombudsman tetap memiliki bobot hukum secara tidak langsung melalui kontribusinya terhadap pembuktian dalam proses hukum.

Kelima, Ombudsman tetap dapat melakukan pemantauan dan evaluasi lanjutan terhadap instansi yang tidak melaksanakan rekomendasi. Pemantauan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk memastikan adanya perbaikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Jika dalam evaluasi lanjutan ditemukan bahwa malaadministrasi terus berlangsung, Ombudsman dapat membuka kembali pemeriksaan dan memperkuat rekomendasi sebelumnya dengan langkah-langkah strategis lainnya.

Dari kelima poin tersebut, jelas bahwa rekomendasi Ombudsman bukan sekadar saran biasa, melainkan produk hukum administratif yang memiliki kekuatan moral dan tanggung jawab etik serta politis. Ketidakpatuhan terhadap rekomendasi ini bukan hanya menunjukkan pengabaian terhadap proses korektif, tetapi juga memperlihatkan ketidakpatuhan terhadap nilai-nilai pelayanan publik yang bersih dan berintegritas. Dalam jangka panjang, pengabaian seperti ini dapat memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara.

Keberadaan Ombudsman sebagai pengawas pelayanan publik sangat vital dalam sistem demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi akuntabilitas. Ketika rekomendasi Ombudsman diabaikan, konsekuensinya tidak hanya dirasakan oleh lembaga tersebut, tetapi juga oleh masyarakat luas yang bergantung pada layanan publik yang adil dan efisien.

Maka dari itu, sudah saatnya semua pihak memandang rekomendasi Ombudsman bukan sebagai pilihan, tetapi sebagai kewajiban moral dan administratif yang harus dilaksanakan demi terciptanya pemerintahan yang baik atau good governance.**

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan