SEJARAH EKSPLORASI TIMAH DI PULAU BANGKA (Bagian Dua)

Akhmad Elvian-screnshot-

Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

        

BELO atau Beloeh terletak di pesisir Barat Pulau Bangka, sekitar 8 (Delapan) mil arah ke Timur dari Mentok. 

-------------------

DALAM peta Het Eiland Banka, 1910 (and) De Rivier van Palembang 1821, dari Mentok ke Belo terhubung dengan jalan setapak melalui kampung Tanjoeng, Teloekroebiah, melewati sungai Pait, Ranggam dan sampai ke Belo (Beloeh). Pada kampung Belo terdapat sungai Belo yang alirannya terletak antara sungai Sebusuk dan sungai Masar. Setelah pertambangan Timah dibuka di Mentok kemudian tambang dibuka di Belo, pertambangan selanjutnya dibuka di Panji dekat Belinyu. Panji merupakan kampung tua, di sana terdapat kelenteng dan sisa bangunan Benteng dan makam kapitan Cina Bong Kiong Hu atau Bong Kap, Tahun 1795. Benteng diperkirakan hancur pada Tahun 1850 (Lange, 1850: 16,17). Penambangan Timah selanjutnya di Pulau Bangka adalah di wilayah Tempilang (Tanpi). Boen Asiong mengelola pertambangan di Mentok dan Belo (Beloeh) dengan melakukan pembaharuan di bidang pertambangan. Beberpa pembaharuan yang dilakukan Boen Asiong adalah  mempekerjakan orang yang mengerti pertambangan Timah,  memperkenalkan teknologi baru yaitu Teknologi Kulit dengan penggunaan tekhnologi pompa air chinchia dan roda air atau chiacaw serta penataan penggunaan air secara tepat, melakukan peleburan (puput) balok Timah dengan ukuran yang jelas dan terstandar. 

Berdasarkan ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Bangka yang dimulai pada 18 Juli 1803 sebagaimana dikutip dari Marihandono, dkk. (2019;209-210), bahwa dalam ekspedisi pemerintah Hindia Belanda yang mengikutsertakan beberapa kapal perang antara lain kapal perang Maria Rijgersbergen bersama dengan kapal-kapal layar eks VOC Maria Jacoba dan Beschermer dan dengan menggunakan beberapa kapal perang serta dikawal oleh beberapa kapal jenis panjajab, pada Tanggal 17 Agustus 1803 komandan ekspedisi yang menaiki kapal perang Maria Rygersbergen menuju ke Bangka. Selanjutnya pada Tanggal 19 Agustus 1803 ekspedisi tiba di Pulau Bangka dan dari hasil pengamatan diketahui,  bahwa terdapat beberapa teko atau tiko di kompleks tambang Timah di Pulau Bangka antara lain; Kimas Tumenggung Astra Dikara, teko raja, yang membawahi distrik Bangka Tampelang (Tempilang), mempekerjakan 10 kuli tambang Cina. Kemudian juga distrik Bangka Nira (Nyireh), Bangka Kebu (Bangkakota) dan Bangka Toboali. Pada ketiga tempat ini tidak ada tambang Timah, juga tidak ada penduduk gunung yang tinggal di sini; Nyai Rangga Bulo, yang bertindak sebagai teko dari raja dari distrik Marawang, yang mencakup 12 tambang Timah dan 33 kuli tambang Cina; Ingabei Angsa Sedana, atau di luar dikenal dengan nama Ingabei Ismael, sebagai teko raja memegang kekuasaan atas distrik Jebus, yang mencakup 7 tambang Timah dan 300 kuli Timah Cina (di Bangka Jebus ada lebih banyak kuli tambang Cina daripada di tempat lain. Orang bisa mempertimbangkan, bahwa tambang-tambang di sini digali lebih dalam daripada di tempat lain, yang umumnya lebih dangkal karena kurangnya tenaga penggali); Ki Demang Bing, kepala bangsa Cina di Palembang yang bertindak sebagai teko bagi raja di distrik Blingu (Blinju) dan Lanji (Panji) dengan cakupan Tiga tambang Timah, yang dikerjakan oleh 46 kuli Timah; Saudagar Baby, teko raja yang membawahi Empat tambang Timah di distrik Bangka Lumut, yang dikerjakan oleh 40 orang kuli Cina; Nyai Demang Jaya Layana, teko putra mahkota di distrik Belo, dimana hanya ada Satu tambang Timah yang dikerjakan oleh 18 orang kuli Cina. Klabat memiliki Empat tambang Timah dan di sana bekerja 70 orang Cina. Layang memiliki Empat tambang Timah dengan 21 orang kuli Cina. Songie Laot memiliki 5 tambang Timah dan di sana terdapat 45 orang kuli Cina dan Pankal Pinang yang memiliki 7 tambang Timah yang mempekerjakan 35 pekerja Cina; Pangeran Ade, putra kedua raja tidak memiliki teko, mengelola sendiri tambang Timahnya di Songebulo (Sungai Bulo) yang dikerjakan oleh 52 orang kuli Cina. Menurut Harsono (2017, 41) Demang Djaya Laksana/ Jaya Layana adalah anak dari Oen Asing atau Boen Asiong.

Pada masa Sultan Mahmud Badaruddin I Jayowikramo (Tahun 1724-1757), walaupun sudah diatur penjualan Timah hanya kepada sultan, penyelundupan Timah masih terjadi karena perbedaan harga yang mencolok antara Timah yang dibeli sultan dan VOC dengan harga Timah yang dijual di pasaran bebas dengan harga sekitar 15 Dolar Spanyol perpikul (terdapat selisih sekitar 5 dolar Spanyol), di samping itu hasil Timah di Pulau Bangka juga berkurang akibat perang saudara di Bangka antara Sultan Mahmud Badaruddin I Jayowikramo dengan abangnya Sultan Anom Alimuddin yang berkedudukan di Kubak (Koba) Bangka pada Tahun 1731. Pada Tahun 1755 masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayowikramo dilakukan lagi pembaharuan kontrak Timah dengan VOC yang berisi ketentuan, bahwa semua Timah dari Bangka harus diserahkan kepada VOC dan tidak dibenarkan menjualnya kepada bangsa lain. Pada Masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikusumo (Tahun 1757-1776) adalah masa keemasan pertimahan di Pulau Bangka dan sultan menerapkan hukuman mati bagi pelaku penyelundupan Timah, akan tetapi pada masa selanjutnya, yaitu masa sultan Muhammad Bahauddin (Tahun 1776-1803),  Pulau Bangka mengalami masa sulit karena diserang oleh Bajak Laut yang menamakan dirinya Rakyat dan Lanun pada Tahun 1792/1793, hal ini disebabkan karena lemahnya VOC dan sultan Palembang mengamankan wilayah laut Pulau Bangka dan akibat terjadinya perang gerilya laut yang dilakukan oleh Kesultanan Riau Lingga yang dibantu oleh Depati Karim seorang depati dari wilayah Jeruk, Pulau Bangka. Perampokan terhadap parit parit pertambangan Timah dilakukan oleh Bajak laut dan perdagangan gelap serta penyelundupan Timah terjadi secara besar besaran di Pulau Bangka. Wilayah Penyelundupan dan perdagangan gelap yang paling baik saat itu adalah di Tanjung Air Mas di Teluk Jebus. Dalam catatan (W. Millburn,1813: 348-349) dinyatakan: “The Sultan and the Dutch Resident live at Palembang: with the latter some business may be transacted; in case he should decline trading, you must endeavour to find out the agents of the Princes of Banca, and those of the Caranga, or Prime Minister, who have always carried on an illicit trade, in opposition to the Dutch and the Sultan. Some Dutch cruisers are usually stationed here, under pretence of protecting the Sultan, and enforcing his laws; but more with a view of prevtoting bis trading with any either nation . Access, however, may be had to the Datoo at Mintow, on obseving certain ceremonies, which the commander of the Dutch cruisers expect from strangers. The price of tin varies from 16 to 18 Spanish Mlbf per pecul, and is generally weighed with the Chinese cotchin, or steelyards. It is necessary to over through some of the slabs of tin, as it frequently happens that iron shot and stones are in the middle of them. Opium is usually brought by the country ships frequenting these Straits; but nothing will secure tin but Spanish dollars. There is another place for tin, called Yre Mass, at the north end of Banca; and you deal chiefly with the Captain Chinaman, who resides there. Tampaknya penyelundupan dan perdagangan gelap Timah sudah terorganisir dengan rapi melibatkan perangkat Keresiden Belanda dan para Menteri Rangga serta para kepala rakyat di Mentok. Kemudian diperjualbelikan juga Opium di Pulau Bangka, dan pada saat transaksi Timah harus diteliti dengan baik karena Timah sering dicampur dengan besi dan batu.  Yre Mass atau Tanjung Air Mas, dalam Kaart van het Eiland Banka 1819 dan Kaart van het Eiland Banka en de rivier van Palembang, karya Majoor Adjhaff, terletak di Timur Laut Mentok tepatnya di Teluk Jebus, secara gografi terletak antara Tanjung Rambat dan Kampak. 

Mahalnya harga Timah di pasaran dunia menyebabkan Pulau Bangka dan perairan di sekitarnya seperti Selat Bangka, Selat Malaka dan Selat Karimata dinamakan sebagai kawasan pantai-pantai niaga yang disenangi (the favoured commercial coast). Terjadilah konstelasi politik dan ekonomi di kawasan Pulau Bangka, terutama pada masa dimulainya hegemoni bangsa asing kulit putih menancapkan kuku kekuasaannya sekitar abad 18 Masehi. Tarik menarik hubungan dan pengaruh serta konflik antar kekuasaan beberapa kerajaan di Bagian Barat Nusantarapun terjadi di wilayah the favoured commercial coast antara Kesultanan Banten, Kesultanan Palembang, Kerajaan Johor, Kesultanan Lingga dan konflik semakin memuncak ketika VOC, Inggris (Tahun 1812-1816) dan kemudian Hindia Belanda (Tahun 1817) turut serta campur tangan dan memiliki berbagai kepentingan, terutama kepentingan ekonomi terhadap Timah di Pulau Bangka. Akibat tarik menarik hubungan dan pengaruh serta konflik antar kekuasaan di kawasan Pulau Bangka dan sekitarnya menyebabkan Pulau Bangka dan kawasan sekitarnya semakin ramai dengan catatan sejarah kolonial maupun catatan sejarah para bajak laut (zeerovers) (habis).***

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan