Pernyataan Presiden Soal Hukuman Mati Koruptor, Yusril: Konsisten dengan Hukum Nasional & Semangat Kemanusiaan

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra--
KORANBABELPOS.ID - Terkait pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai ketidaksetujuannya terhadap penerapan hukuman mati bagi koruptor, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyampaikan pandangannya. Menurut Yusril, pernyataan Presiden Prabowo sah dan sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
“Apa yang dikatakan oleh Presiden Prabowo mengenai hukuman mati bagi tindak pidana korupsi itu benar dilihat dari segi hukum positif yang berlaku. UU Tipikor memang membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa korupsi yang terbukti melakukan kejahatan tersebut 'dalam keadaan tertentu'," ujar Yusril melalui keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta.
BACA JUGA:Yusril: Efisiensi Anggaran Karena 30 Persen APBN Bocor
“Itu disebut dalam UU No 20 Tahun 2001 yang saya sendiri ketika itu mewakili Presiden membahas RUU tersebut dengan DPR. Dalam keadaan tertentu itu adalah keadaan-keadaan yang luar biasa seperti keadaan perang, krisis ekonomi maupun bencana nasional yang sedang terjadi. Meskipun UU telah membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati dalam keadaan seperti itu, sampai saat ini belum pernah ada penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa korupsi,” tambah Yusril.
Ia menambahkan, meskipun hakim menjatuhkan hukuman mati dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), masih terbuka ruang bagi Presiden untuk memberikan grasi dan amnesti.
“Kalaupun grasi atau amnesti tidak diberikan, kapan eksekusi hukuman mati akan dilaksanakan, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung. Sekarang memang cukup banyak narapidana mati yang eksekusinya belum dilaksanakan. Ada yang WNI dan ada yang WNA,” jelas Menko Yusril.
BACA JUGA: Perpres Diteken Prabowo, Tukin Dosen Cair? Ada yang Rp 33 Juta
Yusril juga menyoroti bahwa Indonesia saat ini sedang dalam masa transisi dari KUHP lama peninggalan Belanda menuju KUHP Nasional yang akan mulai berlaku awal 2026.
“Dalam KUHP Nasional ini, hukuman mati yang dijatuhkan tidak dapat langsung dilaksanakan. Terpidana mati lebih dahulu harus ditempatkan dalam tahanan selama 10 tahun untuk dievaluasi apakah yang bersangkutan benar-benar sudah taubatan nasuha dalam arti amat menyesali perbuatannya atau tidak. Jika dinilai dia telah taubat, maka hukumannya dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup. Ketentuan ini berlaku bagi napi hukuman mati WNI atau WNA. Itu garis besarnya. Pelaksanaan hukuman mati dalam KUHP Nasional pelaksanaannya harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Pemerintah kini sedang mempersiapkannya,” ungkapnya.
Mengenai tudingan standar ganda terhadap napi hukuman mati WNI dan WNA, Yusril membantahnya.
“Sama sekali tidak. Napi WNA itu dipindahkan ke negaranya untuk dipertimbangkan oleh pemerintahnya apakah akan dieksekusi mati atau tidak. Di dalam negeri, sikap Presiden Prabowo sangat jelas. Sampai hari ini di masa pemerintahan Presiden Prabowo tidak ada seorang pun terpidana mati yang dieksekusi oleh regu tembak, baik WNI maupun WNA.”
BACA JUGA:Indonesia Utus Tim Lobi ke AS
Lebih lanjut, Menko Yusril mengatakan bahwa perubahan sistem hukum yang akan datang juga menjadi perhatian pemerintah, terutama terhadap mereka yang telah dijatuhi hukuman mati berdasarkan KUHP lama.
“Sebagai Pemerintah, kami juga harus memikirkan bagaimana nasib terpidana mati berdasarkan KUHP Belanda yang sekarang sudah inkracht dengan berlakunya KUHP Nasional tahun depan. Kalau ada perubahan hukum, maka ketentuan yang paling menguntungkan seseoranglah yang diberlakukan. Saya kira RUU Pelaksanaan Hukuman Mati nanti akan mengatur hal itu dengan jelas agar ada kepastian hukum,” ujarnya.