Mengupas Hak Istimewa Patwal Pejabat di Jalan dalam Perspektif Pelayanan Publik
Dicky Wahyudi,-Dok Pribadi-
Oleh Dicky Wahyudi
Mahasiswa Universitas Pertiba
Di tengah kepadatan arus lalu lintas yang menjadi pemandangan sehari-hari, raungan sirene "tot wut wut" akhir-akhir ini menjadi viral di media sosial. Tidak hanya berfungsi sebagai isyarat, tetapi juga sebagai penanda adanya hak prioritas yang diberikan kepada rombongan kendaraan tertentu. Seketika, para pengguna jalan lainnya harus menepi, memberikan jalur tanpa hambatan bagi pihak yang dikawal, seolah-olah urgensi mereka melampaui kepentingan ribuan individu yang terjebak dalam kemacetan yang sama. Fenomena ini secara langsung memicu pertanyaan mendasar mengenai keadilan dan kesetaraan di ruang publik.
Pada dasarnya, esensi dari pelayanan publik adalah menempatkan kebutuhan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Pejabat publik, dalam kapasitasnya sebagai abdi negara, seharusnya menjadi teladan dalam menunjukkan empati dan kesetaraan. Namun, tindakan meminta pengawalan di jalanan justru menciptakan sebuah kontradiksi fundamental antara fungsi mereka sebagai pelayan dan posisi mereka sebagai pihak yang dilayani.
Paradoks ini menjadi semakin menonjol dalam konteks pelayanan publik, di mana pejabat negara seharusnya berposisi sebagai pelayan rakyat, bukan pihak yang harus didahulukan. Meskipun Undang-Undang telah mengatur kendaraan yang berhak mendapat prioritas, praktik di lapangan seringkali menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang yang mengikis kepercayaan publik.
Sirine "tot wut wut" dengan demikian bertransformasi dari sekadar alat bantu menjadi simbol arogansi dan jarak antara pemangku jabatan dan masyarakat. Alih-alih mencerminkan pelayanan prima, bunyi sirene tersebut justru mengisyaratkan adanya hak istimewa yang merusak citra dan esensi dari pelayanan publik itu sendiri.
//Permasalahan dan Aturan
Fenomena ini, pada akhirnya, melampaui isu kemacetan dan bertransformasi menjadi simbol kelas sosial yang mencolok. Sirine "tot wut wut" dan iring-iringan patwal menjadi penanda visual dan auditori dari sebuah hierarki yang memisahkan "mereka" dari "kita."