Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Fidusia dan Debt Collector: Ketika Hukum Jaminan Berhadapan dengan Praktik Jalanan

Lidia.-Dok Pribadi-

Peristiwa serupa terekam di Depok, Jawa Barat. Juli 2025 video viral menunjukkan empat “debt collector” menghentikan sepeda motor seorang warga di Jalan Raya Bogor, Bogor, dan berusaha merebut kendaraannya. Setelah melunasi cicilannya, korban yang berteriak sempat memperebutkan kunci motor hingga terjadi kegaduhan. 

 

Kapolsek Cimanggis mengakui kejadian tersebut dan polisi langsung cek lokasi. Dalam kasus lain pada bulan Agustus 2025, empat penipu hutang ditangkap oleh petugas polisi Beji Depok karena memaksa seorang pengemudi ojol masuk ke gudang sebelum menandatangani surat serah terima motor. Motor korban ditemukan di gudang saat disergap polisi. Pada akhirnya, para pelaku didakwa atas pelanggaran Pasal 368 KUHP (pemerasan) dan/atau pelanggaran UU Fidusia, masing-masing dengan ancaman penjara lebih dari 7 tahun.

 

Peristiwa-peristiwa ini menambah daftar kasus kekerasan serupa, termasuk kasus selebgram Clara Shinta (2023) yang memicu gelombang penindakan oleh kepolisian. Namun korban umum pun tak kalah: banyak debitur yang merasa tiba-tiba “dikepung” atau diancam meski cicilannya sudah dilunasi. 

 

Tangisan dan ketakutan para korban sempat terekam di media sosial – misalnya foto seorang ibu dan dua anaknya jongkok di aspal setelah motor mereka diserobot. Meski tak semua pelaku terekam kamera, polisi pada umumnya menegaskan bahwa aksi semacam ini telah melampaui batas penagihan hukum menjadi tindak pidana.

 

Menurut pakar kriminologi, penagih hutang memiliki keperdataan untuk menagih hutang dengan surat kuasa; namun, tindakan apa pun yang melampaui prosedur akan tunduk pada hukum pidana. Menurut Nandang Sambas dari Unisba, reposisi kendaraan yang dilakukan di jalan tanpa prosedur pengadilan sebetulnya merupakan pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP) atau paling tidak pemaksaan (Pasal 368 KUHP). “Jika kendaraan debiturnya harus dirampas, yang merampas bukan debt collector sendiri, itu harus dilakukan oleh pengadilan atau penegak hukum berwenang,” katanya. 

 

Jika debt collector “memaksa” mengambil motor di jalan, bisa diduga melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Dia juga mengingatkan bahwa setiap pemaksaan di jalan harus dilaporkan ke polisi karena, sesuai dengan Pasal 365 KUHP, instruksi Kapolri telah mengarahkan penegak hukum untuk menangani kasus perampasan seperti ini sebagai pidana.

 

Pandangan kritis ini diperkuat oleh aparat. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran mengecam keras praktik debt collector premanistik: “Penagih utang yang melakukan teror dan intimidasi, apalagi perampasan, dicap melakukan tindak premanisme.” Ia mengingatkan bahwa tidak boleh ada kelompok yang bertindak seolah di atas hukum: “Kami akan melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Tidak boleh ada kelompok atau individu yang melakukan kekerasan seolah-olah itu diizinkan oleh hukum. Akan berhadapan dengan saya nanti orang-orang itu,” tegas Fadil. 

 

Selain itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro menyatakan bahwa para pelaku disangkakan atas pelanggaran pengancaman, kekerasan, pemerasan, dan/atau pencurian dengan kekerasan. Dalam praktiknya, Polda Metro bahkan menindak ratusan kasus pengeroyokan dan pemerasan terkait debt collector sepanjang 2023–2025. Di sisi lain, kasus-kasus penagihan online (pinjol) juga tercatat menggunakan modus ancaman digital, yang kini mendapat perhatian penegak hukum sesuai pasal pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan