Skeptisisme Profesional: Menjaga Batas antara Kewaspadaan dan Prasangka
Ade Sugianto.-Dok Pribadi-
3. Komunikasi yang Transparan dan Profesional
Auditor harus mampu menjelaskan kenapa mereka bersikap skeptis kepada pihak auditi. Alih-alih berkata, "Saya tidak percaya laporan Anda," gunakan kalimat seperti, "Sesuai standar audit, kami perlu memverifikasi data ini dengan dokumen pendukung," atau "Untuk memastikan keandalan, kami perlu membandingkan data ini dengan catatan dari sumber independen." Pendekatan ini membangun kepercayaan dan menunjukkan bahwa tindakan auditor didasari oleh standar profesional, bukan prasangka pribadi.
4. Peran Etika sebagai Pengendali
Sikap husnudzon, berprasangka baik, menjadi filter etis yang mencegah skeptisisme berubah menjadi suudzon. Auditor harus memulai setiap penugasan dengan asumsi bahwa auditi memiliki niat baik. Skeptisisme baru muncul ketika asumsi ini tidak lagi didukung oleh bukti yang ditemukan di lapangan. Tanpa landasan etika ini, skeptisisme bisa dengan mudah melencarkan auditor menjadi penghakiman yang prematur dan tidak adil.
Konsep skeptisisme profesional sepenuhnya didukung oleh Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (SAIPI) dan Kode Etik Auditor Intern Pemerintah Indonesia (KE-AIPI). SAIPI menekankan skeptisisme sebagai inti dari kemahiran profesional, sementara KE-AIPI mewajibkan auditor untuk bertindak jujur dan tidak didasari prasangka buruk.
Pesan yang disampaikan oleh Inspektur III Inspektorat Jenderal Kemenag RI, Dr. Syafi'i, M.Ag., kepada para auditor sangatlah relevan. Menurut ajaran agama, auditor dilarang memiliki sikap suudzon dan sebaliknya harus husnudzon (berprasangka baik) sebelum menemukan bukti kesalahan. Pesan ini sejalan dengan prinsip audit: auditor harus memulai proses dengan hati yang bersih, berlandaskan husnudzon sebagai etika. Prinsip ini tidak bertentangan dengan skeptisisme; sebaliknya, ia menjadi fondasi moral yang memastikan auditor tidak bertindak sewenang-wenang.
Kesuksesan profesi auditor sangat bergantung pada kemampuan menjaga keseimbangan ini. Auditor harus berperan sebagai detektif yang cerdas dan objektif, bukan sebagai hakim yang menghukum sebelum waktunya. Menerapkan husnudzon sebagai landasan etika dan skeptisisme profesional sebagai pilar metodologi adalah kunci untuk memastikan laporan auditi mencerminkan kondisi sebenarnya. Dengan pendekatan ini, auditor dapat menjalankan tugasnya dengan integritas, menghindari jebakan prasangka, dan menghasilkan laporan yang jujur serta akurat.(Sumber kemenag.go.id dengan judul yang sama)