Skeptisisme Profesional: Menjaga Batas antara Kewaspadaan dan Prasangka
Ade Sugianto.-Dok Pribadi-
Sayangnya, tidak jarang pihak auditi salah paham dan menyamakan skeptisisme dengan suudzon. Kesalahpahaman ini terjadi akibat kurangnya pemahaman tentang peran auditor dan perbedaan fundamental dalam pola pikir kerja.
Auditor bekerja dengan paradigma kehati-hatian, yang fokus pada risiko, akurasi, dan kepatuhan. Tugas utama mereka adalah memastikan tidak ada kesalahan atau kecurangan yang terlewat. Di sisi lain, auditi bekerja dengan paradigma efisiensi, yang berorientasi pada produktivitas, kecepatan, dan pencapaian target. Mereka cenderung melihat proses audit sebagai hambatan yang memperlambat pekerjaan.
Selain itu, masalah komunikasi auditor juga menjadi pemicu utama. Ketika auditor kurang terampil dalam menjelaskan alasan di balik permintaan bukti tambahan, auditi bisa merasa dicurigai. Kondisi ini diperparah oleh respons defensif dari auditi yang menyadari adanya kesalahan, sehingga mereka memilih untuk menuduh auditor berprasangka buruk daripada mengakui temuan. Pengalaman buruk dengan auditor di masa lalu juga dapat membuat auditi menggeneralisasi dan mencap semua auditor sebagai 'suudzon'.
Untuk mengimplementasikan skeptisisme yang sehat dan menghindari jebakan suudzon, auditor perlu melakukan hal-hal berikut:
1. Fokus pada Fakta, Bukan Karakter
Alih-alih bertanya, "Apakah Anda berbohong?", seorang skeptis bertanya, "Apakah data ini konsisten dengan bukti lainnya?". Ini adalah perbedaan fundamental antara skeptisisme dan suudzon. Skeptisisme mengarahkan pertanyaan pada keandalan informasi atau proses, bukan pada integritas orang yang menyediakannya.
2. Menerapkan Pendekatan Terstruktur
Skeptisisme harus menjadi bagian dari metodologi yang sistematis, bukan dorongan emosional. Auditor harus merencanakan prosedur audit untuk menguji asumsi, bukan mencari kesalahan. Contohnya, jika sebuah transaksi terlihat tidak biasa, auditor harus melakukan langkah-langkah secara teratur: mulai dari mengidentifikasi anomali atau ketidaksesuaian data, kemudian memformulasikan hipotesis profesional tentang penyebabnya, lalu mengumpulkan bukti pendukung, dan diakhiri dengan mengevaluasi secara objektif untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti, bukan kecurigaan awal.