Menjaga Ruang Digital sebagai Ladang Damai
Anselmus Dore Woho Atasoge.-Dok Pribadi-
Kekerasan verbal di ruang digital ini menunjukkan bahwa teknologi bukanlah ruang netral. Ia bisa menjadi ladang kebaikan, tetapi juga arena kekerasan jika tidak dijaga dengan etika, empati, dan literasi. Karena itu, tantangan kita bukan hanya soal bagaimana menggunakan teknologi, tetapi bagaimana membangun budaya komunikasi yang bermartabat, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman. Dalam konteks Indonesia yang plural, menjaga ruang digital dari kekerasan verbal adalah bagian dari merawat kohesi sosial dan mewujudkan cita-cita hidup bersama yang damai dan adil.
Hans Küng, teolog Katolik asal Swiss, pernah menyatakan dengan tegas: “Tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama.” Gagasan ini bukan retorika kosong, melainkan seruan etis yang mendasari proyek Weltethos yakni sebuah etika publik global yang mengajak umat beriman dan tidak beriman untuk membangun etos bersama demi kemanusiaan.
Dalam konteks digital, seruan Küng menjadi semakin relevan. Ketika agama disalahgunakan untuk membenarkan ujaran kebencian, kita membutuhkan pendekatan lintas iman yang mampu meredam fanatisme dan membangun empati. Di titik ini, dialog antaragama bukan hanya forum diskusi, tetapi ruang penyembuhan, tempat di mana luka-luka akibat kekerasan verbal bisa diakui dan diatasi.
Senada dengan itu, Paus Fransiskus pun menekankan pentingnya “budaya perjumpaan”. Sebuah cara hidup yang mengedepankan keterbukaan, penghormatan, dan kerja sama. Dalam dunia digital, budaya perjumpaan ini bisa diterjemahkan sebagai etika komunikasi: berbicara dengan hormat, mendengarkan dengan empati, dan menolak ujaran yang merendahkan martabat manusia.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Gus Dur, tokoh Muslim Indonesia yang konsisten mengajarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Gus Dur percaya bahwa agama tidak boleh menjadi sumber konflik, melainkan harus menjadi jembatan bagi perdamaian dan keadilan sosial.
Hal ini menjadi landasan etis untuk membangun perdamaian, keadilan sosial, dan kepedulian lintas batas. Dalam banyak pidatonya, ia menekankan bahwa kebebasan beragama dan penghormatan terhadap perbedaan adalah fondasi utama bagi masyarakat yang sehat dan demokratis.
Dalam menghadapi kekerasan verbal di ruang digital, kita perlu membangun literasi etis, memperkuat moderasi konten, dan menciptakan ruang-ruang dialog yang aman dan inklusif. Lebih dari itu, kita perlu menghadirkan spiritualitas dalam komunikasi digital. Bahwasanya, setiap kata yang kita tulis mencerminkan nilai-nilai yang kita junjung. Kita bertanggung jawab atas dampak sosial dari setiap ekspresi yang kita sebarkan, baik dalam bentuk komentar, unggahan, maupun percakapan daring.