SUNGAILIAT ATAU SUNGAILEAT (Bagian Tujuh)
Akhmad Elvian-screnshot-
Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
PENYEBARAN dialek Cina (Chineesch dialecten) di samping di Kampung Rebo Distrik Sungailiat juga tersebar di Onderdistrict Merawang di District Merawang tepatnya di Kampung Baturusak.
------------
SEDANGKAN dialek lain juga digunakan masyarakat di Distrik Merawang dan Sungailiat seperti penggunaan Dialek Riau Lingga (Rijau-Lingga dialecten) di Onderdistrict Soengailijat District Soengailijat, Onderdistrict Merawang di District Merawang. Kemudian masyarakat juga menggunakan dialek Melayu Bangka (Bangka Maleisch dialecten) terutama di Onderdistrict Soengailijat, Onderdistrict Maras dan Onderdistrict Njalau di District Soengailijat, Onderdistrict Djeroek dan Onderdistrict Groenggang di District Merawang.
Keberadaan Dialek Riau Lingga di Onderdistrict Soengailijat District Soengailijat, Onderdistrict Merawang di District Merawang berdasarkan latar sejarahnya berasal dari diaspora orang Bangka di Pulau Lingga dan orang Lingga di Pulau Bangka atau saling kunjung antar keluarga di Pulau Lingga dan di Pulau Bangka. Berkembangnya Rijau-Lingga dialecten (dialek Riau-Lingga) di Keresidenan Bangka, dalam Schets-Taalkaart van de Residentie Bangka, K.F. Holle, Tahun 1889, di samping berkembang di Distrik Sungailiat dan Merawang, berkembang juga di onderdistrict Muntok di district Mentok, onderdistrict Telang di district Djeboes, onderdistrict Pandji Sekak di district Belinjoe, dan di onderdistrict Koba di district Koba. Berkembangnya dialek Riau Lingga di Pulau Bangka menunjukkan besarnya intensitas komunikasi masyarakat Bangka dengan masyarakat Lingga dan menunjukkan, bahwa orang Bangka di Pulau Lingga berasal dari hampir seluruh distrik yang ada di Pulau Bangka. Lebih jauh lagi dalam Buku “Lima Abad Yang lalu Orang Bangka Sudah di Lingga” (Ishak, dkk, xvi) dinyatakan, bahwa Orang Bangka pertama ke Lingga pada abad ke 15 (1480-1490) yakni 300 Tahun atau Tiga Abad sebelum Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat kerajaan di Daik Lingga dari Riau. Sultan Mahmud pindah ke Daik Lingga pada abad ke-18 (Tahun 1787-1812), jadi sampai sekarang, orang Bangka di Lingga sudah mencapai lebih 500 Tahun, atau Lima (5) Abad. Orang-orang Bangka adalah orang yang pertama kali diam atau membuat perkampungan di Lingga, bersama dengan keluarga Megat Mata Kuning dari Jambi, dan orang-orang Mantang atau Baroq. Mereka inilah orang asli Lingga, yang pertama.
Pada Tahun 1787, Sultan Riau-Johor-Pahang, Mahmud Riayatsyah, memindahkan ibukota kerajaan Riau-Johor-Pahang ke Daik Lingga, sehingga kemudian disebut dengan Kerajaan/Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Sebagai upaya perlawanan lanjutan terhadap VOC (Perang Riau melawan VOC, tahun 1782-1784) dilakukanlah serangan terhadap wilayah perairan alur perdagangan Lada dan Timah di sekitar Selat Bangka dan pesisir Pulau Bangka yang dikuasai oleh VOC. Serangan terhadap kawasan alur perdagangan Lada dan Timah di Selat Bangka dan perairan di sekitar Pulau Bangka dengan tujuan mengusir VOC, disebutkan berasal dari kerajaan Lingga dipimpin oleh Panglima angkatan perang Lingga, bernama Raman atau Rahman..
Diceritakan kembali dari Tuhfat al-Nafis: Sejarah Melayu dan Bugis, karangan Al-Marhum Raja Ali al-Haji Riau (ed. Munir bin Ali), Singapura: Malaysia Printers, 1965. Raja Ali Haji ibn Ahmad, The Precious Gift: Tuhfat al-Nafis (ed. V. Matheson & B.W. Andaya), Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982.: “Panglima Raman merampok dari Bangka ke Jawa, membawa banyak tahanan dan membawa mereka ke Lingga. Pada saatnya orang-orang Bangka datang untuk menikmati hidup di Lingga dan mereka mendirikan kebun-kebun dan kampung-kampung dan tidak mau kembali lagi. Kadang-kadang kerabat mereka berasal dari Bangka tidak melalui perampokan tetapi secara sukarela dan menyerahkan diri kepada sultan Mahmud, dengan demikian kemudian Lingga menjadi padat penduduknya”. Sangat mungkin yang dimaksudkan dengan orang Bangka yang datang secara sukarela ke Lingga adalah keluarga Abang Tawi di Mentok yang dihukum sultan Palembang. Mereka pindah ke Lingga dipimpin oleh Abang Abdoelraoef, putera Abang Tawi. Saat itu hampir separuh penduduk Mentok telah siap berangkat pindah ke Lingga, akan tetapi sultan kemudian mengutus seorang Arab bernama Said Ali Bin Syeikh membujuk sebagian keluarga jauh Abang Tawi untuk tetap tinggal di Mentok. Orang Mentok yang pindah ke Lingga dibantu oleh Panglima Raman dan kemudian ditempatkan di Pulau Singkep. Orang-orang Mentok keluarga Abang Tawi, kemudian secara sembunyi-sembunyi banyak membawa orang-orang dari Sungailiat dan Merawang untuk menambang Timah di Singkep. Pada Tahun 1793 Masehi, Panglima Raman menaklukkan Koba (Horsfield, 1848:52,224). Oleh sebab itu saat ini ada kampung Merawang dan Mentok di Kabupaten Lingga dengan budaya sama seperti di Mentok dan Merawang Bangka
Pada masa kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda, sejak berdirinya keresidenan Bangka pada Tahun 1816, Pulau Bangka dipimpin oleh seorang Residen. Keresidenan terbagi atas beberapa distrik dan pada masing-masing distrik di Pulau Bangka dikepalai oleh seorang bangsa Eropa yang berpangkat Administratur Distrik yang merangkap sebagai Administratur Pemerintahan dan administratur tambang timah (kecuali di Distrik Lepar Eilanden, dipimpin oleh seorang Posthounder). Masing masing Administratur Distrik dalam mengatur administrasi pemerintahan dibantu oleh seorang Demang dan di bawahnya terdapat beberapa orang kepala onderdistrik yang bergelar Batin dan di bawah Batin terdapat beberapa kepala-kepala kampung yang dalam sebutan orang Bangka disebut Gegading dan Lengan. Bangsa Belanda menyebut jabatan jabatan bumiputera Bangka dengan sebutan kepala-kepala rakyat pribumi. Jabatan-jabatan bumiputera atau kepala rakyat pada masa pemerintahan Hindia Belanda, mulai dari jabatan Depati sampai ke jabatan Lengan, adalah pegawai yang digaji atau diupah oleh pemerintah, agar mereka terikat pada atiran dan ketentuan Pemerintah Hindia Belanda.
Kedudukan Demang pada pemerintahan Hindia Belanda sangatlah strategis. Residen Belanda yang kedudukannya di bawah Gubernur Jenderal membawahkan beberapa Administrateur Afdeeling. Di samping menjalankan pemerintahan Afdeeling, Administrateur juga bertugas mengawasi kerja Demang. Untuk di Jawa dan Madura jabatan Demang lebih strategis lagi karena dapat disamakan dengan administrateur atau kewedanaaan. Menurut ketentuan dalam pasal 62 ayat (2) Undang-undang Dasar Nederland Tahun 1854 (wet op de Staatsinrichting van Nederland Indie) pada tanggal 2 September 1854, Staatsblad 1854, Nomor 2, Staatsblad 1855 Nomor 2 jo 1, maka susunan lembaga-lembaga Pemerintah Hindia Belanda adalah Gubernur Jenderal, Dewan Hindia Belanda (raad van Nederlands Indie), Dewan Rakyat (Volksraad), Dewan Pengawas Keuangan (Algemene Rekenkamer) dan Mahkamah Agung (Hogerechtshof). Pemerintahan umum di Hindia Belanda dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja. Gubernur Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh raja dan pada pelaksanan tugasnya bertanggungjawab kepada raja melalui Menteri Jajahan di Negeri Belanda. Gubernur Jenderal harus bangsa Belanda, dan sudah mencapai usia 30 Tahun. Gubernur Jenderal diangkat oleh Raja Belanda untuk jabatan selama 5 (lima) Tahun.
Dalam Regeeringalmanak voor Nederlandsch-Indie, di Keresidenan Bangka (Banka en onderhorigheden) terdapat beberapa pejabat pada Distrik Soengeiliat termasuk jabatan Demang, meliputi Administrateur Distrik dijabat oleh F.Th. Von Kotsch, 13 November 1882, kemudian jabatan Demang dijabat oleh Demang Mohamad Oemar gelar Raden Mas Ardjo Koesoemo, 11 Sept 1882 dan untuk pemimpin orang Cina dijabat kapitien/luitenant der chinesen Bong Yan Siep, 15 September 1863, kemudian pada Distrik Marawang jabatan Administrateur distrik dijabat oleh R. de Adelhart Toorop, 11 Februari 1881, kemudian untuk jabatan demang di Merawang dijabat oleh Demang Mohamad Hidaijat, 19 Maart 1877 dan untuk Kapitein Cina dijabat oleh Lien Tjin Djin, 19 Februari 1869. (Bersambung).