Leiden is Lijden
Ahmadi Sopyan-screnshot-
“Terima kasih kambing-kambing sekalian atas keramahan kalian hari ini. Ini perhelatan manusia, ternyata banyak kambing yang hadir dengan suara ngembek-nya…..”.
Hadirin yang mengolok-olok dirinya pun terdiam malu.
Professor Schermerhom, Guru Besar Belanda secara terang-terangan mengagumi sosok Agus Salim. Menurutnya sang Kiyai ini adalah cendikiawan dan tokoh negara yang hebat.
“Hanya satu kelemahan K.H. Agus Salim. Selama hidupnya ia selalu saja melarat dan miskin”.
Bahkan hingga ia meninggal dunia, 4 November 1954, Guru Bangsa ini hingga namanya dikenang luas bangsa Indonesia. Wajar saja diberbagai kota-kota besar di Indonesia namanya dijadikan nama jalan.
Jabatan dan Politik
CARA pandang dan keteladanan Agus Salim jelas sekali merupakan refleksi bahwa politik dan jabatan bukan sarana untuk mencari dan menumpuk kekayaan sebagaimana yang dilakukan oleh para pejabat negara saat ini, tetapi lebih pada ajang pengabdian untuk negeri. Sungguh sebuah potret keteladanan yang seharusnya dapat menular kepada para pemangku jabatan di zaman sekarang ini.
Sedangkan saat ini sudah bukan rahasia umum bahwa jabatan baik politik maupun jabatan lainnya di negeri ini tidak lepas dari perilaku mencari kekayaan guna mengumpulkan harta kekayaan yang tak kan pernah terpuaskan. Sehingga tidak heran bila Indonesia yang disebut sebagai negeri kaya sumber daya alam namun masih banyak rakyat yang hidup dalam kelaparan dan kurang pendidikan.
Bahkan yang lebih memalukan begitu banyak anak negeri ini terpaksa meninggalkan tanah kelahiran, meninggalkan keluarga, meninggalkan negeri untuk menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di negara-negara lain yang penuh dengan hinaan, siksaan bahkan pulang dalam peti kematian.
Di sisi lain, segelintir pejabat, tokoh, bahkan ulama baik di daerah apalagi ditingkat nasional, kekayaan bagaikan tujuan utama dari kehidupan yang dijalani. Kiprah dan pengabdian hanya sebagai pencitraan belaka untuk mendapatkan simpati rakyat yang bertujuan mendapatkan jabatan dan ketokohan lebih tinggi.
“Setiap zaman ada pemimpinnya dan setiap pemimpin ada zamannya”.
Artinya zaman berubah dengan perubahan pola pikir dan perilaku yang disesuaikan dengan zamannya. Namun daripada itu, keteladanan dalam sikap dan kehidupan diri beserta keluarga akan terus dikenang oleh masyarakat luas dan generasi berikutnya. Para pemimpin dan pejabat negara saat ini seharusnya belajar dari sikap pengabdian, ketokohan, kecerdasan, keteladanan dan kesahajaan dari para Guru Bangsa seperti Kiyai Haji Agus Salim.
Di era modern seperti sekarang ini, menjadi pemimpin atau tokoh bukan berarti harus miskin dan melarat, namun adalah bagaimana kekayaan itu diraih dari usaha jauh sebelum menjadi pejabat negara atau disebut tokoh. Namun yang paling ditampakkan saat ini adalah dari sebelumnya tidak memiliki apa-apa, tapi ketika menjadi pejabat negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, kekayaan meningkat drastis. Apalagi pemimpin yang kekayaannya didapatkan dari hasil uang haram.
Padahal, wibawa dan kharisma bukan diukur dari harta dan ketokohan yang dikejar dengan berbagai media melalui pencitraan, tapi akan diukur dari karya nyata dan pengabdian yang sesungguhnya. Belum terlambat, mari kembali belajar kehidupan kepada para Guru Bangsa, bukan berarti harus miskin dan melarat! Tapi cinta tanah air dan pengabdian serta siap hidup melarat dan tidak mencari kekayaan dari jabatan dan ketokohannya, itulah yang diajarkan oleh Kiyai Haji Agus Salim, Guru Bangsa.
Salam Guru Bangsa!(*)