Suci menambahkan, masyarakat yang bertindak sebagai pengelola wisata juga harus mampu untuk mengidentifikasi seperti apa tindakan evakuasi yang harus dilakukan, di antaranya memperkirakan jumlah wisatawan yang akan datang dan seperti apa rencana untuk evakuasinya.
Bagi pengelola hotel, mitigasi sangat penting untuk dilakukan, salah satunya dengan memperjelaskan papan petunjuk evakuasi sampai jalur evakuasi.
Bahkan, mereka perlu mengetahui bagaimana kerja dari pintu darurat yang berada di hotel serta menyiapkan alarm evakuasi.
Kemudian, pengelola juga bisa siapkan informasi kesiapsiagaan seperti membuat materi-materi edukasi, mulai dari poster-poster evakuasi yang ditempel di papan informasi hotel.
Hanya saja, Suci menyayangkan bahwa masih ada hotel-hotel di tempat wisata yang tidak memberikan safety breafing pada para wisatawan.
Padahal, hotel yang berada di wilayah rawan gempa dan tsunami wajib untuk melakukan safety briefing kepada para wisatawan.
"Hotel yang berada di wilayah rawan gempa bumi dan tsunami ini harus melakukan safety briefing sebelum pertemuan sehingga tamu memahami apabila dalam kondisi darurat mereka tahu harus melakukan apa. Juga upayakan pegawai hotel terlatih dan sering mengikuti sosialisasi dan simulasi rutin," kata Suci.
Sebagai tempat yang sering dikunjungi wisatawan, hotel-hotel ini juga harus menyiapkan sejumlah SOP rencana kontingensi, di mana mereka harus memastikan jika hotel bisa mendapatkan akses informasi terkait bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami dari BMKG.
Suci juga menegaskan bahwa gempa megathrust ini adalah fakta dan sudah pernah terjadi di Indonesia.
"Jangan lupa tsunami Aceh 2004 yang kekuatannya lebih dari 9 magnitudo, jangan lupa juga tsunami Mentawai yang kekuatannya 7,9 tetapi membangkitkan tsunami yang sangat besar. Tsunami Pangandaran 2006 ataupun tsunami Nias di 2005 itu adalah gempa tsunami yang dibangkitkan oleh gempa bumi di wilayah megathrust." tuturnya.***