KORANBABELPOS.ID.- Status PT Timah Tbk sebagai anak perusahaan BUMN, adalah bukan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Seperti diketahui, PT Timah Tbk yang sebelumnya BUMN sekarang menjadi anak perusahaan PT. Inalum (Persero) setelah dilakukan holding company. Dan itu mengakibatkan beralihnya kepemilikan saham seri B sebesar 65% yang dulunya dipegang negara menjadi dipegang oleh PT. Inalum (Persero).
Selain itu, Lembaga yang berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)bukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Demikian salah satu keterangan saksi ahli, Ahli Hukum Keuangan Negara Universitas Indonesia, Dr. Dian Puji Simatupang, dalam siding Tipikor tata niaga timah di IUP PT Timah 2015-2022, Kamis 21 November 2024, di PN Tipikor Jakarta Pusat. Saksi ahli dihadirka dalam sidang lanjutan dengan terdakwa petinggi CV Venus Inti Perkasa (VIP) Thamron alias Aon Cs.
Dalam sidang tersebut, tak hanya Dr Dian Puji, namun juga Ahli Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara Universitas Pancasila, Dr. Rocky Marbun, juga Ahli Hukum Bisnis dan Dagang dari Universitas Pelita Harapan, Dr. Jonker Sihombing.
BACA JUGA:Saksi Ahli di Sidang Tipikor Kasus Timah: Uang BUMN Bukan Uang Negara
Dari sini para ahli itu sepakat ada kekeliruan legalitas. Termasuk dalam prinsip Korupsi Timah dengan kerugian Rp 300 Triliun tersebut.
Saksi Ahli Dian Puji lebih jauh menyatakan, prinsip-prinsip dasar negara hanya menerima sesuatu yang bersifat sah sesuai aturan, baik berupa PNBP, pajak, atau iuran yang telah melalui prosedur resmi, dicatat dalam DIPA, dan masuk APBN.
"Apabila dianggap ilegal, maka harus ada bukti dan mekanisme hukum untuk mengembalikannya, termasuk pencabutan dari APBN. Dan segala aktivitas ekspor dari PT Timah pun harus dinyatakan tidak sah karena berasal dari aktivitas tidak sah," tegas Dian Puji lagi.
Dian menyatakan dalam kasus pertambangan ilegal, meskipun terdapat pemasukan ke negara, status legalitasnya jadi tidak jelas. "Jika terbukti ilegal, negara berpotensi menghadapi konsekuensi hukum, seperti pengembalian dana, denda, atau bunga sesuai Pasal 3 Ayat 7 UU Keuangan Negara dan karenanya, penilaian kerugian negara harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan data nyata," jelasnya.
Soal kewenangan pemeriksaan kerugian negara, perdebatan tak akan terjadi jika semua pihak sepakat bahwa kewenangan pemeriksaan dan penilaian kerugian negara hanya dimiliki oleh BPK. "Saya telah menelusuri, dan satu-satunya dasar hukum yang jelas adalah Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang BPK, yang menyatakan bahwa BPK memiliki kewenangan untuk menilai kerugian negara dan saya hanya berpegang pada aturan," ucapnya.
Jika ada satu saja undang-undang yang menyatakan BPKP memiliki kewenangan untuk menilai dan menghitung kerugian negara dalam konteks ini, ia akan langsung setuju dan berhenti berdebat.
BACA JUGA:Saksi Ahli Soal UU Tipikor Kasus Timah, Bukan UU Sapu Jagat
Kewenangan BPKP hanya diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yaitu untuk pencegahan kerugian negara melalui administrasi, bukan untuk penghitungan kerugian negara.
"Hal ini juga tidak diatur dalam PP 60 Tahun 2008. Maka, saya menunggu bukti konkret yang menyatakan BPKP memiliki kewenangan tersebut," ucapnya.
Sementara Ahli Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara, Dr. Rocky Marbun, menyatakan kurang tepat untuk menerapkan pasal pidana, apalagi pasal tipikor dalam kasus tata niaga timah disebabkan negara akan mengalami kerugian.